Example floating
1-20251125-150740-0000
BeritaHomePapua PegununganPeristiwaSosial & Budaya

Kostan Elopere Tutup Usia, Umat Katolik Huwula di Lembah Baliem Berduka

401
×

Kostan Elopere Tutup Usia, Umat Katolik Huwula di Lembah Baliem Berduka

Sebarkan artikel ini

WAMENA — Sore itu, saat matahari merayap turun di balik pegunungan Lembah Baliem dan menyisakan langit jingga yang mulai pudar, sebuah pesawat mendarat perlahan di Bandara Wamena. Di dalamnya, terbaring seorang putra terbaik yang pulang bukan dengan langkah kaki, tetapi dengan tubuh kaku yang terbungkus Petih dan air mata: Kostan Elopere.

Meninggal mendadak di Jayapura tanpa sakit, tanpa keluhan, tanpa pesan terakhir, kepergiannya jatuh seperti petir yang menyambar di hari cerah. Tidak ada yang siap. Tidak ada yang percaya. Namun kenyataan tak bisa ditolak: Kostan pulang sebagai jenazah.

Merah-Emas-dan-Putih-Ilustrasi-Ucapan-Hari-Sumpah-Pemuda-Card-20251125-122100-0000

Ketika pintu pesawat dibuka, cahaya senja jatuh tepat ke peti jenazahnya.
Dan saat itu pula, suasana pecah.

Ribuan orang yang sejak siang memadati bandara Wamena langsung merunduk dalam tangis.
Anak-anak menatap kebingungan, tak mengerti tetapi ikut menangis melihat air mata ibunya.
Orang muda berbaris rapat, sebagian menutup wajah dengan tangan.
Para orang tua berjalan tertatih, beberapa hampir jatuh karena rasa sedih yang terlalu berat.

Di antara kerumunan itu, tampak beberapa ibu-ibu melakukan ratapan tertinggi dalam budaya mereka: mereka mengambil segenggam tanah dari landasan, lalu melumuri tanah itu di wajah, di pipi, dahi, dan dagu, hingga air mata bercampur lumpur yang mengalir turun.

Mereka meratap dengan suara pecah:
“Kostan… oooh Kostan… mengapa pulang begini?”

Terlihat seorang ibu menepuk-nepuk dadanya sambil merunduk di tanah.
Di sampingnya, seorang anak kecil memeluknya erat, menangis tanpa suara.
Senja yang biasanya indah, sore itu terasa seperti ikut pingsan.

Ketika peti dinaikkan ke mobil jenazah, puluhan tangan terulur berusaha menyentuhnya.
Ada yang hanya menyentuh sebentar, ada yang memegang erat sambil menggigil, seolah dengan sentuhan itu mereka ingin menunda kenyataan.

Mobil bergerak pelan, sangat pelan seperti tidak tega meninggalkan bandara.
Di belakangnya, ratusan mobil beriringan mengikuti, tanpa peduli jarak, tanpa peduli gelap.
Teriakan lirih pecah dari sana-sini, tidak serempak, tidak teratur, namun semuanya membawa pesan yang sama:
kehilangan yang tidak siap diterima.

Di sepanjang jalan, orang-orang dari kampung-kampung keluar rumah.
Banyak orang berdiri diam sambil menahan air mata.
Ketika mobil lewat, mereka mengangguk, ada yang berseru lirih:
“Selamat jalan anak kami… selamat jalan pejuang kecil…”

Satu per satu, suara tangis menempel di udara seperti kabut yang turun dari pegunungan.

Ketika konvoi tiba di halaman rumah duka, suara ratapan langsung pecah seperti gelombang.
Rumah itu seperti dipenuhi cahaya lilin yang bergetar ditiup angin malam.
Kabut turun perlahan, seolah ikut merunduk bersama semua yang hadir.

Peti diturunkan.
Beberapa ibu kembali melumuri wajah dengan tanah.
Ada yang memukul dada, ada yang berteriak histeris, ada yang jatuh terduduk karena lutut tak sanggup menopang tubuh yang dipenuhi kehilangan.

Langit yang sudah gelap terasa seperti ikut menangis.

Di dalam rumah duka, doa dimulai.
Tapi suara doa itu terputus-putus, tenggelam oleh isak.
Setiap doa terdengar seperti permohonan agar waktu diputar kembali.
Agar pagi itu tidak pernah datang.
Agar Kostan bangun sekali saja dan berkata semua ini hanyalah mimpi buruk.

Seorang pemuda Huwula berbisik sambil menatap peti itu:
“Dia selalu menguatkan kami… sekarang siapa yang menguatkan kita?”

Di sudut lain, seorang bapak tua memegang tiang rumah hingga jarinya memutih.
Dengan suara hampir tak terdengar, ia berkata:
“Anak Katolik yang terbaik… Tuhan panggil terlalu cepat…”

Kepergian Kostan bukan hanya kehilangan seorang tokoh.
Ia adalah kehilangan suara yang dulu membela yang tak bersuara.
Kehilangan tangan yang dulu mengangkat mereka yang jatuh.
Kehilangan hati yang dulu memeluk mereka yang tersisih.

Kini yang tersisa adalah peti kayu, tanah yang mengering di wajah para ibu, dan doa-doa yang bergetar di malam yang panjang.

Tetapi justru karena begitu banyak yang menangis, begitu banyak yang datang, begitu banyak yang meratap—itulah tanda bahwa Kostan adalah cahaya yang pernah menerangi jalan banyak orang.

Cahaya yang kini padam,
namun kehangatannya tinggal di dalam hati semua yang pernah disentuhnya.

Lembah Baliem berduka. Tanah leluhur Huwulama menangis.
Dan Tuhan pasti tahu Ia sedang menerima seorang anak terbaik pulang ke pangkuan-Nya.

Pimpinan beserta seluruh Kru DetikpapuaNet, mengucapkan Turut Berduka cita atas meninggalnya Almarhum Kostan Elopere, Semoga Tuhan memberikan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Penulis: Yohanes Kossay (Putra Lembah Baliem, yang juga ikut menyaksikan penjemputan jenazah Alm. Kostan Elopere di Bandara Udara Wamena)

height="600"/>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1-20251125-153219-0000