Example floating
CerpenOpini

CERPEN: Ketika Hati Bertemu Surga

14
×

CERPEN: Ketika Hati Bertemu Surga

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Petrus Rabu,S.Fil*

Di sebuah ruang kelas yang sederhana, di tengah kesibukan ujian dan tumpukan buku, seorang gadis muda bernama Maria duduk termenung. Hanya beberapa bulan sebelumnya, dia adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Namun, kali ini matanya tampak redup, seperti ada sesuatu yang hilang. Sesekali, dia menghapus air mata yang mengalir tanpa bisa ia bendung.

IMG-20250205-WA0013

Kehidupan Maria tak pernah mudah. Di luar sana, dia dikenal sebagai gadis pintar, berasal dari keluarga berkecukupan, dan selalu menjadi pusat perhatian. Namun, siapa sangka di balik senyumnya yang cerah, ada luka yang begitu dalam? Luka yang muncul dari keretakan dalam keluarganya, dari perkelahian tak berkesudahan antara orang tuanya, dari rasa kehilangan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.

Hari itu, dalam sebuah kelas yang sunyi, Maria menangis dengan keras. Ia tak mampu lagi menahan perasaan yang begitu sakit. Teman-temannya terkejut, belum pernah mereka melihat Maria seperti itu sebelumnya. Dia menceritakan betapa hancurnya hatinya melihat ketegangan yang terjadi di rumah, dan bagaimana dia mulai kehilangan kepercayaan terhadap cinta, terutama cinta yang seharusnya ada dalam sebuah keluarga. “Cinta itu penuh kepalsuan,” katanya dengan suara gemetar.

Di situlah, Maria mulai berdoa, berdoa untuk hatinya agar bisa berdamai dengan semua yang telah terjadi. Dia merasa lelah, sangat lelah dengan segala kebingungannya. Dalam doanya, dia memohon agar Tuhan memberinya petunjuk, jalan keluar dari kegelapan yang meliputi hatinya. Tanpa dia sadari, doa-doa itu menjadi langkah awal menuju perjalanan hidup yang tidak pernah ia bayangkan.

Suatu hari, Maria membuat keputusan besar. Tanpa memberi tahu siapa pun, bahkan orang tuanya, dia mendaftar untuk masuk ke biara. Keputusan itu datang begitu tiba-tiba, seolah Tuhan mengetuk hatinya dengan keras.

Teman-temannya, terkejut. Mereka tahu betapa cerdas dan berbakatnya dia, mereka tidak mengerti kenapa dia memilih jalan ini. Seolah ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah panggilan yang tidak bisa dipahami oleh teman-temannya yang hanya melihatnya dari luar.

Saat hari itu tiba, saat Maria akan dijemput oleh ayahnya untuk masuk biara, ayahnya marah besar. Dia menentang keras pilihan anaknya, berusaha menariknya kembali ke rumah, mengingatkan Maria akan masa depan yang cerah yang menantinya di luar sana. Namun, Maria dengan tegas menjawab, “Ini keputusan saya. Saya memilih Yesus dan hanya akan mencintai-Nya sampai akhir hidup saya.”

Ayahnya terdiam, matanya penuh dengan keputusasaan. Namun, Maria tetap teguh. Dia melangkah masuk ke biara, dengan keyakinan yang tidak bisa digoyahkan oleh siapa pun, meski itu orang tuanya sendiri.

Waktu pun berlalu. Beberapa tahun kemudian, Maria akhirnya bertemu kembali, saat dia datang untuk mengambil ijazah. Maria yang dulu yang dikenal sebagai gadis ceria, kini mengenakan pakaian biarawati, dengan senyum yang penuh kedamaian. Dia menyapa teman-temannya dengan anggun, seolah dia adalah seseorang yang telah menemukan kedamaian dalam hatinya.

Teman-temannya memeluknya, menahan tangis yang hampir tumpah. Di saat itu, temannya berpikir, “Apakah luka itu yang membuatmu memilih jalan ini?” Namun, yang mereka lihat, bukanlah kesedihan atau penyesalan, melainkan kebahagiaan yang murni. Maria telah menemukan kedamaian, bukan dalam dunia ini, tetapi dalam pelukan Yesus.

Teman-temannya memintanya untuk pulang, bertemu dengan orang tuanya. Maria mengangguk, dan teman-temannya tahu, dia sudah siap menghadapi apa yang ada di rumah. Ketika dia sampai, ayahnya yang dulu marah, kini memeluknya dengan erat, menangis.

Dalam pelukan itu, sang ayah bertanya, “Apa alasanmu memilih jalan ini, Maria?”

Dengan air mata yang menetes, Maria menjawab dengan jujur. Dia mengungkapkan semua luka yang telah ia simpan selama ini, tentang perasaan tidak aman, tentang ketidakpastian yang ia rasakan tentang cinta dan keluarga.

Namun, di saat itu juga, Maria berkata dengan penuh keyakinan, “Sungguh, saya sudah berdamai dengan diri saya, dengan semuanya. Saya sampai di sini karena Yesus. Hanya Yesus yang mampu menyembuhkan hati saya.”

Ayah dan ibu Maria menangis, tetapi bukan hanya karena kesedihan. Mereka menangis karena mereka akhirnya memahami bahwa keputusan anak mereka bukanlah suatu pelarian, melainkan penyembuhan. Maria telah menemukan jalan hidup yang sesungguhnya, jalan yang memberinya kedamaian, yang memberinya kebahagiaan sejati, meski melalui banyak luka dan perjalanan panjang.

Maria adalah gadis yang pintar, yang dulu memandang dunia dengan rasa ingin tahu yang besar. Namun, melalui luka-luka itu, dia menemukan bahwa cinta sejati tidak datang dari manusia, tetapi dari Tuhan. Teman-temannya semua bahagia melihatnya kini, hidup dengan penuh kedamaian. Senyum yang dulu penuh dengan kepura-puraan kini tampak lebih jujur, lebih murni.

Maria telah tumbuh, bukan hanya secara fisik, tetapi dalam iman dan pengertian. Dia telah dewasa di dalam Tuhan, dan temannya tahu, dia akan terus menginspirasi banyak orang untuk menemukan damai sejati dalam pelukan-Nya.

Catatan: Nama-nama yang digunakan dalam cerita ini adalah fiktif dan tidak menggambarkan individu sebenarnya. Segala kesamaan nama atau kejadian hanyalah kebetulan belaka.

*Penulis adalah Aparatur Sipil Negara dan Tinggal di Waisai-Ibukota Kabupaten Raja Ampat

CATATAN REDAKSI

DetikPapua.net membuka peluang bagi Anda yang memiliki minat menulis untuk berbagi gagasan, pandangan, atau karya kreatif lainnya kepada pembaca kami. Kami menerima kiriman tulisan dalam berbagai bentuk, di antaranya:

Artikel: Tulisan berbasis fakta yang membahas isu terkini, fenomena sosial, atau topik-topik yang relevan dengan kehidupan masyarakat Papua dan sekitarnya.

Opini: Pendapat pribadi yang disampaikan secara argumentatif dan bertanggung jawab.

Sastra: Cerpen, puisi, atau karya sastra lainnya yang mampu menggambarkan keindahan seni dan budaya, termasuk kekayaan kearifan lokal Papua.

Ketentuan:

  • Tulisan harus orisinal dan belum pernah dipublikasikan di media lain.
  • Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  • Panjang tulisan maksimal 1.000 kata untuk artikel atau opini, dan menyesuaikan untuk cerpen serta puisi.
  • Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah substansi isi.

Kirimkan tulisan Anda ke email redaksi kami di detikpapuanet@gmail.com dengan mencantumkan nama lengkap, alamat email, dan nomor telepon yang dapat dihubungi.

Mari bersama-sama menyuarakan aspirasi dan kreativitas melalui DetikPapua.net!

Salam

Redaksi

height="600"/>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IMG-20250205-135239