Oleh: Petrus Rabu*
Kapal yang saya tumpangi baru saja melepaskan tali meninggalkan Pelabuhan Angin Mamiri Kota Makassar. Bersama penumpang lain saya pun bergegas menuju Dek VII bagian luar kapal tersebut. Melepas kepenatan setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 Jam dari Tanjung Perak Surabaya.
Sore itu, matahari menyisakan warna merah kehitam-hitaman di ufuk barat. Sambil menyeruput segeleas kopi yang dipesan dari Cafetaria kapal tersebut dengan sebatang Dji Sam Soe, saya duduk menyaksikan indahnya panorama alam pada sore itu.
Angin laut selat Makasar meniup perlahan menambah syahdunya alam pada senja itu.
Di pagar pembatas kapal, seorang bocah perempuan berumur kurang lebih tiga tahun asyik bermain. Memanjat dan menuruni pagar kapal. Sesekali bocah berkulit kuning langsat dengan baju Mickey Mouse tersebut meloncat kegirangan sambil berteriak-teriak.
Sebagaimana anak umumnya, bocah itu benar-benar menikmati keindahan panorama alam pada sore itu. Rupanya anak itu baru pertama kali naik kapal menyisiri keindahan samudera Indonesia.
Sementara seorang wanita paruh baya duduk di kursi memanjang seperti bale-bale umumnya yang diperuntukkan bagi penumpang untuk menikmati keindahan samudera Indonesia saat bepergian.
Wanita yang mengenakan jacket hitam dipadu jeans biru dongker tersebut sedang berbicara ditelepon dengan seseorang.
Entah siapa dan dari mana. saya tak tahu. Sesekali dirinya menunduk sambil mengecilkan volume suaranya. Mungkin dia malu karena beberapa orang ada disekitarnya.
“Bu, minta biskuit!” ujar bocah perempuan tadi mendekati wanita tersebut.
Ternyata wanita yang sedang telepon tersebut ibunya. Rupanya wanita tersebut bersama putrinya sudah lebih awal berada di dek tersebut.
Wanita dengan rambut lurus yang dibiarkan terurai memanjang tersebut hanya menyodorkan sebuah tas berwarna hitam. Tas yang layak dipakai perempuan saat berpergian. Tempat segala keperluan tetek bengeknya disimpan. Anak itupun mengambil sebuah biskuit berukuran sedang.
“Saya ambil ini ya, Bu?” lanjut bocah perempuan tersebut.
Wanita itu hanya mengangguk. Dirinya masih serius berbicara ditelepon dengan seseorang dibalik telepon genggamnya. Pada packing luar biskuit yang diambil anak tersebut tertulis “Biskuat”. Mungkin ibunya sengaja membeli biskuat agar anaknya kuat menghadapi cobaan hidup.
Kapal pun secara perlahan meninggalkan pelabuhan Makassar. Sementara senja berangsur-angsur menuju ke peraduannya. Dari kejauhan, kelap-kelip lampu Kota Daeng, julukan Kota Makassar mulai menerangi cakrawala malam.
Di ufuk Barat tersisa awan hitam mengumpal. Gelap pun mulai merambat diatas perairan Makasar. Sejumlah penumpang masih berada di dek tersebut dengan kesibukannya menikmati panorama alam perairan Makassar. Sementara sebatang Dji Sam Soe dengan segelas kopi hangat masih menemaniku sore itu.
“Selama ini kamu anggap saya ini siapa!!!” tiba-tiba wanita yang sedang telepon tersebut berbicara dengan nada tinggi.
Kelihatannya wanita dengan sepatu kats berwarna hitam tersebut sangat marah. Suara itu membuat beberapa orang sekitar kaget. Bicara yang tadinya pelan bahkan tidak terdengar tiba-tiba memekik ditelinga.
“Jawab!!! tegasnya lagi.
“Selama ini kamu anggap saya ini siapa?” lanjut wanita tersebut dengan nada tanya.
Wanita tersebut seakan meminta jawaban. Ia mengharapkan pandangan dan pengakuan lawan bicaranya. Tentang siapa dirinya Dari mimiknya, kelihatan wanita tersebut membutuhkan pandangan dan pengakuan yang tak sebatas kata tapi pengakuan akan kehadiran dalam kehidupan tentunya.
“Kamu pikir saya pelacur?” lanjutnya dengan nada yang semakin meninggi dan marah. Ia semakin tak peduli. Tak peduli dengan orang-orang sekitarnya. Baginya meluapkan amarah sebesar-besarnya.
Mendengar itu saya semakin kaget. Karena saya tak menyangka pembicaraan per telphon yang tadinya adem-adem saja tiba-tiba panas.
“Ada apa gerangan,” gumanku dalam hati.
“Ah tidak peduli. Bukan urusanku juga,” lanjutku dalam diam sambil menarik rokok kesukaanku dalam-dalam.
Wanita berparas ayu dengan tinggi semampai tersebut tertunduk terdiam. Tangan kirinya mengangkat jaket menutupi wajahnya.
Dari balik jacket terdengar Wanita tersebut bicara di Handphone sambil terisak-isak. Dia seolah tak mampu menahan beban di hatinya. Ia luapkan kekesalannya dengan menangis. Bakhan saking marahnya ia tak peduli dengan orang-orang sekitar.
“Lalu kenapa kamu lakukan itu kepada saya?. Saya siapa sebenarnya buat kamu!,” ujarnya dengan nada tanya. Rupanya wanita tersebut tidak mendapatkan jawaban yang menyenangkan dari lawan bicaranya.
Kapal yang kami tumpangi mulai melaju cepat. Sementara putrinya asyik bermain didek yang cukup luas tersebut sambil menghabisi biskuit dari ibunya.
Saat itu secara tak sengaja saya duduk didekat kursi wanita tersebut. Posisi itu membuat saya mudah mendengar dan merekam semua kata-kata wanita tersebut. Tetapi seolah saya tak dengar.
Dari pembicaraannya, rupanya wanita tersebut berbicara dengan suaminya. Dan kini wanita tersebut telah memutuskan untuk meninggalkannya. Suamibyang dicintainya dan menganugerahkan seorang putri kepadanya. Hanya saja mungkin kelakuan suaminya yang tak baik membuat dia iklas melepaskannya.
“Biar sudah!! Kamu lanjut saja dengan kehidupanmu. Kamu lanjut dengan dia dan saya akan pergi bersama putri saya,” ujar wanita itu seraya dia mematikan telepon genggamnya.
Tatapan wanita itu kosong. Sesekali ia menunduk sambil menghela nafas yang panjang. Malam itu langit tak berbintang. Samudera seputaran Pulau Sulawesi telah diliputi kegelapan.
“Bu sudah malam, ayo ke kamar tidur. Aku sudah ngantuk,” ajak putrinya yang tiba-tiba datang menghampirinya.
Wanita itu mendekap puterinya erat.Dekapan kasih. Pelukan yang menandakan bahwa dialah satu-satunya penghibur dan membuatnya mampu melangkah pergi dan bertahan. Puterinya menjadi aza untuk meraih masa depan.
Selain mendekap, dengan air mata yang tersisa ia mengecup kening putrinya. Ungkap kasih seorang ibu kepada anaknya.
Wanita itu seolah mengajarkan orang-orang sekitar bahwa anak adalah anugerah dan harta tak ternilai harganya di dunia. Bahwa hidup tak pernah lepas dari persoalan tetapi anak dan buah hati tetap harga mati yang tak bisa lepas dari tanggungjawab orangtuanya.
Di tengah hatinya yang kalut tentu Wanita itu mengajarkan orang-oranh sekitar bahwa anak adalah buah dari kasih sayang Tuhan yang dititipkan untuk dijaga dan dipelihara.
Usai mendekap puterinya, wanita itu pun bangun dari kursinya sambil memegang tangan puterinya mereka pun melangkah perlahan menuju tempat tidur di kapal yang memiliki beberapa dek tersebut.
Angin malam mulai bertiup kencang. Raungan mesin kapal bertambah keras. Kapal pun mulai membela samudera ditengah pekadnya malam.
Aku sendiri tak tahu ke pelabuhan mana wanita dengan putrinya itu akan berlabuh. Yang jelas dia pergi bersama putrinya dengan membawa hati yang terluka.
*Penulis adalah ASN dan tinggal di Kota Waisai-Raja Ampat-Papua Barat Daya