Raja Ampat di Persimpangan Jalan, Prof Sepus Fatem: Butuh Political Commitment dan Political Action Pemerintah
Sebarkan artikel ini
“Karena Raja Ampat adalah simbolisasi Indonesia di tingkat global, maka pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten Raja Ampat sendiri harus punya dua hal. Political commitment dan political action. Komitmen politik dan komitmen aksi untuk menyelamatkan Raja Ampat” Prof. Sepus M. Fatem
Sorong, Detikpapua.Net – Raja Ampat dengan segala kesohorannya terus menyita perhatian. Gugusan pulau yang indah, kekayaan biodiversity dan pesona terumbu karang yang eksotis telah mengantarkan Raja Ampat tampil ke pentas dunia. Pariwisata tidak lagi sebatas fatamorgana yang dinikmati, tetapi kian menjadi jati diri yang menyimpan rasa dan asa bagi masyarakat Raja Ampat.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa) Prof. Sepus M. Fatem, saat menyampaikan materi dalam kegiatan Dialog Kebudayaan Penguatan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang diselenggarakan oleh Institut USBA (Uru Sefa Batufani) di Hotel Mariat Kota Sorong, Jumat (03/10/2025). Foto/Yohanes Sole
Namun, masa-masa kejayaan “segitiga karang dunia” seakan menanti redup, ditengah militansi ekspansi aktivitas pertambangan yang kini hadir menghujam jantung “Surga Terumbu Karang Dunia”. Raja Ampat kini berada di persimpangan jalan. Tetap bertahan menjaga mahkota warisan destinasi wisata global, atau tunduk pada gempuran kepentingan korporasi dibalik topeng nikel.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa) Prof. Sepus M. Fatem, menegaskan satu hal yang pasti bahwa dilema tambang dan pariwisata di Raja Ampat adalah konflik antara potensi ekonomi tambang nikel yang besar dengan ancaman kerusakan ekologis dan sosial yang akan mencoreng citra pariwisata kelas dunia.
Ia menegaskan aktivitas tambang dapat memicu sedimentasi, polusi, hilangnya lahan adat hingga mengakibatkan konflik sosial di kalangan masyarakat, sementara pariwisata berkelanjutan justru menawarkan manfaat ekonomi jangka panjang dan pelestarian lingkungan. Yang dibutuhkan saat ini adalah Political Commitment dan Political Action Pemerintah untuk menyelamatkan Raja Ampat dari jurang kehancuran.
“Bagi saya, pariwisata dan pertambangan tidak bisa ada dalam sebuah harmoni untuk berjalan bersama di Raja Ampat. Karena potensi nikel dan kekayaan biodiversity memiliki korelasi yang kuat. Jika nikel diambil maka otomatis terumbu karang besarta biodiversity lainnya akan punah. Ini akan menimbulkan lebih banyak persoalan dikemudian hari,” demikian Prof Sepus Fatem dalam materinya saat Dialog Kebudayaan Penguatan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang diselenggarakan oleh Institut USBA (Uru Sefa Batufani) di Hotel Mariat Kota Sorong, Jumat (03/10/2025).
Prof Sepus menjelaskan, Raja Ampat memiliki ekosistem pulau, yang secara ekologis mudah sekali mengalami kerusakan sampai bahkan hilang. Masyarakat Raja Ampat perlu memahami bahwa kondisi laut yang begitu menarik dengan potensi ekonomi tertinggi di dunia itu memiliki relasi atau korelasi positif dengan unsur nikel. Endapan di bawah permukaan air laut memiliki pengaruh langsung dari pertambangan nikel. Sehingga ketika nikel dieksploitasi maka akan berpengaruh pada kondisi laut dan biodiversity yang ada di dalamnya.
“Biodiversity di dalam laut itu akan lestari tergantung pada suplai dari ekosistem pulau, yang mana di situ terdapat kandungan nikel dan unsur-unsur lainnya. Saya menduga mungkin semua pulau di Raja Ampat memiliki kandungan nikel. Tentu ini tidak bisa dibiarkan untuk kemudian kita menuai dampaknya di kemudian hari,” ucap Prof. Sepus.
Ia menekankan, forum dialog yang diselenggarakan oleh Institut USBA tersebut menjadi sangat vital dan strategis dalam rangka menjembatani suara hati dan fakta riil di masyarakat dengan perspektif pemerintah selaku pengambil kebijakan. Melalui dialog tersebut telah ditemukan sejumlah benang merah yang bisa menjadi rujukan pemerintah dalam pengambilan keputusan.
Ia pun merincikan ada sejumlah persoalan mendasar yang saat ini masih dialami masyarakat Raja Ampat, sehingga tampak seolah-olah mereka sangat mendukung aktivitas pertambangan:
Pertama, terkait dengan legitimasi keberadaan lembaga-lembaga masyarakat berbasis adat. Banyak lembaga yang dibentuk tapi tidak terlegitimasi oleh pemerintah. Kedua, belum ada regulasi pemerintah baik Perda ataupun Perbup yang melegitimasi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Raja Ampat. Dampaknya rentan terjadi konflik sosial dikalangan masyarakat adat, yang terbukti hari ini sebagian masyarakat Raja Ampat menolak tambang tetapi banyak juga yang mendukung. Ketiga, distribusi manfaat atau keadilan ekonomi yang dilakukan pemerintah bersama NGO belum merata, sehingga masih terdapat kelompok masyarakat yang belum mendapat manfaat dari kebijakan pemerintah. Hal ini memicu pemahaman bahwa tambang menjadi alternatif potensial untuk kesejahteraan mereka. Keempat, pemberdayaan ekonomi masyarakat belum dilakukan secara maksimal, sehingga ketergantungan masyarakat kepada pemerintah sangat tinggi. Ini menjadi pintu masuk bagi korporasi dalam menawarkan nilai ekonomis tambang kepada masyarakat.
Melalui forum tersebut ia pun mengusulkan perlu adanya perumusan peta jalan yang muncul dari perspektif masyarakat adat, guna membantu pemerintah daerah merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan yang mengakomodasi dinamika yang berkembang.
Prof. Sepus M. Fatem
Pemerintah, lanjut dia, juga perlu memastikan keadilan sosial, ekonomi dan keadilan lingkungan dari kontribusi dana-dana yang dikeluarkan lewat kerja sama dengan NGO. Kemudian mendorong usaha-usaha ekonomi kreatif masyarakat adat yang ingin memulai dengan mengelola paket-paket ekowisata. Hal ini penting guna memutus penilaian masyarakat bahwa hanya tambang yang bisa membuat mereka makmur.
Selain itu, Pemda juga perlu melakukan penertiban sejumlah NGO yang bekerja di Kabupaten Raja Ampat. Sehingga mereka tidak hanya fokus pada biodiversitas konservasi, tapi juga bagaimana mendorong masyarakat adat melakukan sidang-sidang adat, untuk terjadi saling pengakuan terkait hak ulayat, batas teritori, dan sebagainya. Disisi lain, Pemda Raja Ampat juga perlu memberikan dukungan dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat adat.
“Mohon maaf, hari ini menjadi pertanyaan. Sekian tahun Raja Ampat berkembang sampai menjadi daerah destinasi wisata dunia, tapi manfaat yang diterima oleh masyarakat itu tidak terlalu berdampak. Dan menurut saya, itu yang disebut dengan paradoks. Kita miskin di tengah kelimpahan,” tekan Prof. Sepus.
Ia kembali menegaskan bahwa tanggung jawab terbesar saat ini ada di tangan masyarakat adat dengan pemerintah daerah. Bagaimana memutuskan ketergantungan masyarakat dalam perspektif bahwa tambang itu penting. Ia mendesak agar rumusan dan rencana tindak lanjut dalam forum dialog tersebut didiskusikan dengan pemerintah daerah agar isu-isu, fakta dan aspirasi-aspirasi dari masyarakat adat bisa diadopsi oleh pemerintah sebagai program dan kegiatan kedepannya.
“Karena Raja Ampat adalah simbolisasi Indonesia di tingkat global, maka pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten Raja Ampat sendiri harus punya dua hal. Political commitment dan political action. Komitmen politik dan komitmen aksi untuk menyelamatkan Raja Ampat,” pungkasnya.