Sorong, Detikpapua.Net – Gubernur Provinsi Papua Barat Daya (PBD) diminta untuk membatalkan putusan Panitia Seleksi (Pansel) terkait penetapan calon terpilih anggota DPRP Jalur Pengangkatan (Otsus) Provinsi Papua Barat Daya periode 2024-2029, karena dinilai tidak sesuai prosedur dan mekanisme serta aturan yang ada.
Ketua Biro Adat DAS Maya Klanafaat, Ishak Arempeley menegaskan, pihaknya menuntut keadilan sebagai anak adat asli Suku Maya Kabupaten Raja Ampat. Dimana, hak kesulungan mereka sebagai suku asli yang mendiami wilayah Raja Ampat dirampas oleh orang lain dalam proses seleksi anggota DPRP PBD melalui jalur pengangkatan kali ini.

Ishak menekankan, kursi DPR Otsus merupakan kursi milik masyarakat adat yang didapat melalui skema pengangkatan, bukan pemilihan. Dalam konteks pengangkatan tersebut, maka jatah (kuota) kursi yang ada diambil dari masing-masing wilayah adat yang tersebar di 5 kabupaten 1 kota yang ada di Provinsi Papua Barat Daya.
Ia menjelaskan, di tanah Papua semua tempat sudah dibagi dalam wilayah adatnya masing-masing, disetiap wilayah adat tersebut sudah ada suku-suku asli yang mendiaminya. Kabupaten Raja Ampat ada suku Maya sebagai suku asli disana. Namun, dalam pembagian jatah kursi DPRP Otsus dari daerah pengangkatan (Dapeng) Raja Ampat, tidak ada satupun orang Maya yang masuk. Dua kursi yang ada semuanya diisi oleh orang luar, bahkan bukan dari wilayah Doberai yang merupakan wilayah adat Provinsi PBD.
“Kami tidak mau hak kami diambil orang lain dan kami tidak mau diwakilkan oleh siapapun selain kami sendiri sebagai suku Maya, suku asli yang mendiami wilayah Raja Ampat. Jadi kami minta bapak gubernur tolong dengarkan aspirasi kami ini, karena ini menyangkut hak kami dan juga nasib kami suku Maya lima tahun kedepan,” ujar Ishak, saat menggelar jumpa pers bersama sejumlah kepala suku dan dewan adat di Hotel Meridien, Kota Sorong, Jumat (28/02/2025).

Ishak menambahkan, suku Maya sudah sering kali tidak mendapat ruang untuk turut ambil bagian dalam pembangunan melalui jalur parlemen. Saat seleksi anggota MRP PBD kali lalu pun demikian, tidak ada orang Maya yang masuk. Harapan satu-satunya adalah DPRP jalur pengangkatan, namun lagi-lagi jatah tersebut dirasmpas pihak lain. Ia menekankan apa yang dilakukan Pansel telah melukai hati semua warga suku Maya karena proses pemberian kursi tersebut diduga sarat kepentingan dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak bermartabat secara hukum positif maupun adat.
Sementara, Ketua Binasket se-Tanah Papua Adrianus Maga, secara khusus mengkritisi proses seleksi anggota DPRP Jalur Otsus dari Dapeng Sorong Selatan, yang menurutnya hanya dimonopoli oleh orang-orang dari suku bahkan marga tertentu. Menurutnya hal tersebut sangat jauh dari asas keadilan dan pemerataan sebagaimana semangat UU Otsus yang sesungguhnya. Maga menyebut, anggota DPRP PBD jalur Otsus yang terpilih merupakan orang yang sudah berulang kali menjadi anggota DPR melalui jalur yang sama.
Hal ini, sebut dia, tentu menimbulkan kecemburuan sosial karena hilangnya nilai keadilan ditengah masyarakat adat. Maga menegaskan, Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu, S.Sos merupakan anak adat yang tentu paham kearifan lokal, paham batas-batas wilayah adat, paham aturan adat dan paham kebiasaan masyarakat adat setempat. Oleh karena itu ia meminta agar hasil seleksi khusus wilayah Sorong Selatan harus dibatalkan dan diberikan kepada orang lain.
“Tentu kami sangat mendukung setiap kebijakan yang akan dibuat oleh bapak gubernur karena bagaimanapun beliau adalah anak adat juga. Tetapi kami minta agar aspirasi kami ini didengar, karena kami merasa tidak diperlakukan adil. Tidak bisa satu kursi itu hanya ditempatkan oleh satu orang, atau satu marga saja. Berikan kepada yang lain, supaya ada keadilan dan pemerataan,” tegas Maga.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Moi Klabra Yefta Kolis mempertanyakan kredibilitas dan profesionalitas anggota Pansel dalam melaksanakan tahapan seleksi. Pasalnya, dari pencermatan pihaknya, proses yang dilakukan Pansel sudah sangat bergeser jauh dari aturan maupun petunjuk teknis (Juknis) yang ada. Yefta mengemukakan beberapa poin krusial yang hingga kini belum mampu dinalisa secara nalar oleh pihaknya.
Pertama, sebut Yefta, proses seleksi tidak dilakukan dengan transparan dan akuntabel, buktinya dari setiap mata tes yang ada tidak diketahui bobot nilai atau perengkingan dari setiap peserta. Hal ini tentu sangat membingungkan, bagaimana caranya Pansel menetukan peserta yang lolos dan tidaknya dalam setiap tahapan seleksi yang ada. Kedua, Yefta mempertanyakan salah satu syarat utama seseorang dapat mengikuti tahapan seleksi yakni surat rekomendasi dari dewan adat maupun LMA.
Yefta mengkanalis penyampaiannya khusus untuk Dapeng Kabupaten Sorong, yang menurutnya patut menjadi bahan pertimbangan gubernur sebelum menerima hasil seleksi yang telah dikeluarkan Pansel. Pasalnya, diduga kuat peserta yang lolos sebagai anggota terpilih dari Dapeng Kabupaten Sorong bukan peserta yang direkomendasikan oleh dewan adat setempat. Lalu pertanyaanya bagaimana mereka bisa lolos dan ditetapkan sebagai peserta terpilih oleh Pansel.
“Setahu kami, peserta seleksi yang kami rekomendasikan itu ada 4 orang, dua diantaranya gugur saat seleksi administrasi, kemudian dua lagi gugur saat seleksi berikutnya, artinya mereka tidak masuk dalam peserta terpilih. Justru yang masuk ini orang lain yang kami tidak tahu mereka datang dari mana. Jadi kami minta keputusan ini dievaluasi bahkan dibatalkan demi rasa keadilan bagi kami masyarakat adat,” tegas Yefta.
Sementara, salah seorang peserta seleksi, Elimas Bosawer meminta gubernur segera mengevaluasi dan memintai klarifikasi dari Pansel, perihal beberapa tahapan seleksi yang dinilainya tidak sesuai aturan. Pertama terkait skema perengkingan bagi tiap peserta yang tidak dilakukan Pansel. Kedua terkait proses seleksi rekam jejak yang juga tidak dilakukan oleh Pansel.
Bosawer mengaku dirinya merupakan salah satu peserta yang masuk dalam 18 peserta yang lolos beberapa tahapan seleksi dan sesuai pengumuman resmi yang dikeluarkan Pansel, dari 18 nama tersebut akan dilakukan seleksi rekam jejak untuk kemudian mendapatkan 9 nama anggota DPR terpilih. Namun, menjadi misteri ketika Pansel terlebih dahulu mengumumkan 9 nama calon terpilih, padahal seleksi rekam jejak sama sekali belum dilakukan.
“Saya dari Dapeng Maybrat, pertama saya ingin tegaskan bahwa saya tidak menyalahkan atau mengganggu rekan saya yang sudah dinyatakan lolos. Saya hanya ingin mengkritisi proses yang ada yang menurut saya tidak sesuai aturan, agar ini tidak menjadi catatan buruk buat kita kedepan. Saya minta gubernur segera mengevuasi Pansel dan meminta pertanggungjawaban, kenapa tidak ada perengkinan di setiap tahapan seleksi dan kenapa tidak ada seleksi rekam jejak, padahal sudah diumumkan,” tuntas Bosawer.