“Jadi memang pada saat terjadinya pembunuhan saya tidak tahu, tapi setelah itu kami dengar berita, kami tidak mengambil tindakan apa-apa, kami keluarga besar termasuk saya sebagai om kandung memilih diam dan tenang, karena kami tahu memang benar keponakan kami ini suanggi, dan itu diketahui oleh semua masyarakat disini. Jadi kami memilih diam dan menerima kepergian almarhumah dengan ikhlas,” Oktavianus Simori
Sorong, Detikpapua.Net – Kasus dugaan pembunuhan terhadap seorang perempuan berinisial KM di Hutan Kampung Indiwi, Distrik Klabot, Kabupaten Sorong kian menuai atensi publik. Pasalnya, kasus yang terjadi sejak Desember 2023 dan baru terungkap di awal Februari 2025 itu, hingga kini masih terus memunculkan sejumlah fakta baru.
Jika sebelumnya, melalui tim penasehat hukum (PH) para tersangka, terungkap bahwa korban dibunuh atas kesepakatan bersama keluarga, karena korban diduga memiliki ilmu hitam (suanggi), kali ini fakta baru kembali terkuak melalui keluarga dekat korban dalam hal ini paman (Om) kandung korban, yang dalam tatanan budaya dan adat setempat disebut sebagai pemegang hak kesulungan, yang memiliki hak tertinggi atas korban.
Dalam upaya pencarian fakta di lapangan, pada Selasa (25/02/2025), media ini sempat mewawancarai satu-satunya paman kandung korban, bernama Oktavianus Simori yang saat itu ditemui langsung di kediamannya di Kampung Klabot, Distrik Klabot Kabupaten Sorong. Disaksikan keluarga besar dan warga kampung setempat, Oktavianus berbicara kepada media, perihal duduk perkara hingga sikap keluarga atas kasus yang menimpah almarhumah KM.
Oktavianus memulai keterangannya dengan memperkenalkan diri bahwa dirinya merupakan satu-satunya paman kandung korban. Ia menyebut, sesuai aturan adat masyarakat disana, paman kandung lah yang memiliki hak sepenuhnya atau memegang hak kesulungan atas semua keponakan. Dalam hal ini, korban KM merupakan keponakan kandung Oktavianus, sehingga dirinya merasa memiliki hak untuk berbicara dan menyampaikan duduk persoalan yang sebenarnya.
“Nama saya Oktavianus Simori, saya pangkat om kandung dari almarhumah KM. Saya berbicara sebagai pemegang hak penuh untuk anak kekasih, keponakan saya, keluarga saya yang sudah kehilangan nyawa,” ujar Oktavianus mengawali penyampaiannya.
Oktavianus menyebut, dirinya mengetahui betul seluk beluk persoalan yang dialami almarhumah, hingga rentetan kejadian sampai pada akhirnya korban dibunuh. Ia menyebut, korban diduga memiliki ilmu hitam atau dalam bahasa setempat disebut suanggi. Ilmu hitam yang dimiliki korban pun diketahui secara luas oleh masyarakat di Kampun Indiwi, Klabot dan sekitarnya, bahkan se wilayah Klabra Raya.
Hal ini, lanjut dia, terbukti saat ada warga yang sakit, baik orang tua maupun anak-anak atau perempuan maupun laki-laki selalu mengarah kepada korban sebagai pelakunya. Ia lantas mengisahkan beberapa tahun lalu, sebelum korban dibunuh, korban sempat kabur dari kampung Indiwi ke Kampung Klabot dan tinggal bersama dirinya sekitar 4 tahun lamanya. Korban melarikan diri dari Indiwi karena dituduh, bahkan diserang dan diintimidasi oleh keluarga disana bahkan oleh anak-anak kandungnya sendiri, karena tuduhan memiliki ilmu hitam tadi.
“Saat itu, mama (almarhumah) ini sempat naik tinggal di Kampung Klabot, karena mau tinggal di Indiwi kondisinya tidak nyaman, karena diserang, dituntut, dihadang, dari anak-anak baik laki-laki maupun perempuan karena mereka marah bahwa keponakan kami ini setan atau suanggi,” sebut Oktavianus.
Bahkan, kejadian terparah saat salah satu anak kandung perempuan korban mengalami sakit di Sorong. Tuduhan kembali mengarah kepada korban, diduga korban telah mengirim suanggi sehingga anaknya itu jatuh sakit. Hal ini membuat suami dari anak korban yang diketahui berinisal YS marah dan mengambil keputusan naik dari Sorong menuju ke Kampung Klabot untuk mencari keberadaan korban. Saat itu korban tidak ada di rumah, sehingga YS melampiaskan amarahnya dengan memecahkan kaca jendela rumah menggunakan parang yang ia bawa.
Oktavianus melanjutkan, seiring berjalannya waktu, korban akhirnya kembali lagi dan tinggal di Kampung Indiwi. Namun, lagi-lagi saat ada orang sakit maupun meninggal selalu korban yang dituduh sebagai pelakunya. Hal ini memuncak saat anak dari salah satu tersangka beinisial TM meninggal dunia, keluarga marah dan bersepakat untuk mengakhiri hidup korban dengan maksud agar tidak ada korban lain, tetapi juga menjaga martabat dan nama keluarga.
“Jadi memang pada saat terjadinya pembunuhan saya tidak tahu, tapi setelah itu kami dengar berita, kami tidak mengambil tindakan apa-apa, kami keluarga besar termasuk saya sebagai om kandung memilih diam dan tenang, karena kami tahu memang benar keponakan kami ini suanggi, dan itu diketahui oleh semua masyarakat disini. Jadi kami memilih diam dan menerima kepergian almarhumah dengan ikhlas,” ucap Oktavianus.
Oktavianus mengaku kaget, setelah beberapa tahun berlalu, kasus tersebut justru diungkit kembali dan dilaporkan ke polisi. Bahkan sudah ada beberapa orang yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia mengaku baru mengetahui belakangan setelah kasus itu mencuat, bawasanya pihak yang melapor adalah anak-anak korban yang seturut adat setempat tidak memiliki hak melebihi dirinya selaku paman kandung korban.
Apalagi, lanjut dia, dalam proses pelaporan tidak ada pemberitahuan atau kesepakatan bersama keluarga terlebih dahulu, mengingat jika dilihat dari kacamata kearifan lokal, kasus tersebut lebih spesifik dan masih bisa diselesaikan secara adat dan kekeluargaan. Oktavianus dalam hal ini juga merasa dirinya telah dilangkahi sebagai pemegang hak kesulungan, oleh anak-anak yang nota bene juga perna menyusahkan almarhumah saat masih hidup.
“Kami memang tidak ikut dan tidak tahu saat kejadian pembunuhan maupun saat dilaporkan ke kepolisian. Tapi kami tahu keadaanya, sehingga kami memilih diam dan menerima secara ikhlas. Kalau menurut aturan sebenarnya, dalam aturan adat, yang punya hak untuk bikin pengaduan ke kantor polisi atau pengaduan ke dewan adat untuk diselesaikan secara adat itu kami selaku pangkat om kandung,” sebut Oktavianus.
Diakhir penyampaiannya, Oktavianus menyebut meski tidak melihat secara langsung tapi mendengar cerita dari para orang tua, bahwa kejadian-kejadian serupa, dimana orang yang diduga memiliki ilmu hitam disepakati untuk dibunuh, lalu keluarga duduk berembuk dan menyelesaikan hak-hak korban, baik melalui denda adat maupun hal lainnya yang disepakati secara bersama oleh keluarga.
Untuk diketahui kasus dugaan pembunuhan perempuan berinisial KM diketahui sudah terjadi sejak Desember 2023 lalu, namun baru terungkap setelah adanya penyelidikan serius hingga ekshumasi makam korban oleh pihak Polres Sorong diawal Februari 2025 ini. Saat ini setidaknya sudah ada 4 tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut. Mereka adalah TM, RY, YK dan FZY.