Perspektif Hukum Dibalik Penyelesaian Adat Kasus Indiwi
Sebarkan artikel ini
Sorong, Detikpapua.Net – Kasus pembunuhan seorang perempuan berinisal KM di Kampung Indiwi, Distrik Klabot, Kabupaten Sorong, Desember 2023 lalu, hingga kini masih terus menuai atensi publik. Adanya ekshumasi makam, hingga cerita tentang ilmu hitam (suanggi) sampai pada penetapan tersangka oleh polisi masih terus menyisahkan rasa penasaran di benak publik.
Kini, kasus tersebut memasuki babak baru, dimana kedua bela pihak dalam hal ini keluarga korban dan pelaku telah bersepakat untuk menyelesaikan denda adat dalam kasus tersebut. Ini terlaksana pada Jumat (14/03/2025), tepatnya di Aula Mapolres Sorong di Aimas Kabupaten Sorong. Didampingi Dewan Adat 7 Suku Moi Klabra, kedua bela pihak bersepakat melakukan pembayaran denda adat.
Total ada 713 lembar kain timor, ditambah satu buah piring gantung dan uang Rp 10 juta diberikan oleh keluarga pelaku kepada keluarga korban. Prosesi ini pun disaksilan langsung oleh pihak Polres Sorong yang diwakili KBO Reskrim H. Muhammad Asri, SH.,MH. Selain penyerahan denda adat juga dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama antara keluarga korban dan pelaku disaksikan pihak dewan adat dan kepolisian, bawasannya secara adat kasus tersebut telah selesai.
Penyerahan denda adat dalam kasus Indiwi di Mapolres Sorong, Jumat (14/03/2025). Foto/Ist
Ketua Dewan Adat 7 Sub Suku Moi Klabra, Yefta Kolis yang menjadi arsitek terlaksananya penyelesaian adat tersebut mengaku, pihaknya telah mengikuti kasus tersebut sedari awal dan terus berupaya melakukan pendampingan secara adat. Ia menegaskan, apa yang dilakukan dewan adat murni sebagai panggilan hati dalam upaya merekonsiliasi kondisi masyarakat yang cukup mengalami keterbelahan akibat kasus pembunuhan tersebut.
“Kami dari dewan adat 7 Suku Moi Klabra, menyampaikan bahwa selama rentetan peristiwa pembunuhan di tahun 2023, kemudian laporan polisi di bulan Agustus 2024 sampai hari ini kami terus berupaya melakukan pendampingan. Perlu kami tegaskan bahwa semua rangkaian peristiwa ini sudah selesai di hari ini. Kami sudah lakukan penyelesaian secara adat, bayar denda adat dan tandatangan pernyataan dengan keluarga korban yakni marga Yemese, Yable dan Somori,” ujar Yefta saat diwawancarai usai penyerahan denda adat.
Yefta menekankan perlu digarisbawahi bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Indiwi sebenarnya bukan orang lain, tetapi internal keluarga sendiri. Ia juga mengungkapkan kasus tersebut sejatihnya masih berkaitan erat dengan kearifan lokal masyarakat setempat, khususnya terkait masalah suanggi atau ilmu hitam. Olehnya itu, penyelesaian adat tersebut sebenarnya bisa menjadi rujukan kepada aparat penegak hukum, untuk sedapat mungkin menyederhanakan proses hukum kasus tersebut, sehingga tidak terlalu membebani para pelaku.
“Hari ini persoalan ini secara resmi selesai, kemudian kami minta proses hukum kalau bisa disederhanakan karena kami lihat ini penyelesaian adat sudah dilakulan dan bagi kami orang Papua penyelesaian adat ini lebih sakral dari semua. Jadi kami minta aparat penegak hukum agar dapat menjadikan ini sebagai pertimbangan bahwa kami baik keluarga korban maupun pelaku sudah bersepakat untuk menyelesaikan secara adat. Kalau bisa tahanan 4 orang ini bisa dikembalikan ke kami untuk diselesaikan secara adat, kalaupun tidak bisa maka hukumannya harus diringankan,” harap Yefta.
Dalam perspektif hukum positif, memang ada celah untuk mengakomodir permintaan dewan adat 7 suku Moi Klabra, agar kasus tersebut bisa diselesaikan diluar meja persidangan. Namanya Keadilan Restoratif (Restorative Justice), dimana restorative justice sendiri merupakan pendekatan untuk menyelesaikan sengketa pidana dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak terkait lainnya untuk mencapai pemulihan dan perdamaian.
Namun dalam kasus Indiwi tentu akan terasa sangat sulit, mengingat tindakan pidana yang terjadi adalah penghilangan nyawa orang, dalam artian korban telah tiada dan tidak bisa diwakilkan oleh siapapun dalam konsep restorative justice. Hal ini senada dengan penyampaian KBO Reskrim Polres Sorong H. Muhammad Asri, SH.,MH yang mengaku pihaknya sangat menghargai dan menghormati proses penyelesaian secara adat yang dilakukan kedua belah pihak bersama dewan adat. Apalagi, sebut dia jika berbicara konteks Papua, maka hukum ada masih sangat dipegang erat oleh masyarakat.
KBO Reskrim Polres Sorong H. Muhammad Asri, SH.,MH (berkacamata).
“Walaupun hukum positif ada tetapi adat itu juga tidak bisa diabaikan. Kenapa, karena kalaupun hukum positif jalan kemudiaan adat diabaikan nanti kedepan masih akan ada persoalan lagi. Itulah kenapa kami sangat welcome ketika masyarakat meminta tempat di aula Polres juga kami ikut mendampingi dan menyaksikan supaya proses ini aman dan lancar. Puji Tuhan semua berjalan lancar, kedua belah pihak sudah bersatu kembali dan menganggap persoalan ini selesai,” ujar H. Asri.
Mantan Kanit Laka, Satlantas Polres Sorong ini menyebut, kendati telah dilakukan penyelesaian secara adat, namun hal itu tentu tidak menghentikan proses hukum yang ada. Restorative justice tidak bisa disandingkan dalam kasus Indiwi mengingat korban telah tiada dan tidak bisa diwakilkan oleh siapapun berbicara dalam konteks restirative justice.
Namun demikian, H. Asri menambahkan bahwa penyelesaian adat tersebut tidak serta merta diabaikan begitu saja dalam konsep hukum positif. Tentu, dalam proses persidangan nantinya, akan ada yang namanya pertimbangan meringankan dan memberatkan yang diberikan oleh Hakim. Salah satu pertimbangan meringankan adalah adanya niat baik para terdakwa dalam menyelesaikan persoalan melalui penyelesaian adat tersebut.
“Tetapi sekali lagi itu ranahnya hakim, merekalah yang akan memberi pertimbangan-pertimbangan itu. Entah nanti dihukum ringan atau bebas mungkin karena pertimbangan sudah diselesaikan secara adat, tergantung daripada kebijakan hakim sendiri. Saat ini kami tetap pada proses, berkas kami siapkan bahkan sudah diserahkan ke kejaksaan, kami menunggu penyampaian P21. Jika selesai maka selanjutnya proses persidangan berjalan, disana akan dibuka semua. Mudah-mudahan apa yang dilakukan masyarakat adat hari ini bisa jadi pertimbangan hakim,” tuntas H. Asri.
Untuk diketahui kasus dugaan pembunuhan perempuan berinisial KM diketahui sudah terjadi sejak Desember 2023 lalu, namun baru terungkap setelah adanya penyelidikan serius hingga ekshumasi makam korban oleh pihak Polres Sorong diawal Februari 2025 ini. Saat ini setidaknya sudah ada 4 tersangka yang ditetapkan dalam kasus tersebut. Mereka adalah TM, RY, YK dan FZY.