Dukung Pernyataan Wabup Sorsel, IPPM Iwaro Desak Gelar Tikar Adat
Sebarkan artikel ini
“Kami lihat saat ini kan sagu ini sudah mulai habis, maka otomatis perusahaan akan berhenti, kemudian nanti status tanah ini bagaimana, saya minta dokumen-dokumen itu dibuka secara transparan, biar pemerintah, masyarakat pemilik ulayat dan semua pihak tahu” Simon Maurits Soren, SH.,MH
Sorong, Detikpapua.Net – Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa (IPPM) Iwaro Sorong Selatan menyambut baik, sekaligus menyatakan dukungan atas penyampaian Wakil Bupati Sorong Selatan Yohan Bodory, S.Sos.,M.Tr.AP yang menyebut akan mengevaluasi kembali kehadiran dan aktivitas perusahaan sagu maupun sawit yang beroperasi di wilayah Sorong Selatan.
Ketua IPPM Iwaro Sorsel Simon Maurits Soren, SH.,MH (berkacamata)
Ketua IPPM Iwaro Sorsel Simon Maurits Soren, SH.,MH menegaskan, apa yang disampaikan Wabup Yohan Bodory, sejatinya merupakan hal yang diinginkan dan masih terus diperjuangkan oleh masyarakat adat di sejumlah wilayah tempat perusahaan sagu dan sawit beroperasi. Simon berharap agar pernyataan tersebut tidak sebatas omon-omon (bicara tanpa pelaksanaan), tetapi harus diseriusi dalam tindakan nyata di lapangan.
“Saya dukung pernyataan Wakil Bupati Sorong Selatan, namun dalam hal ini jangan sampai hanya omon-omon saja. Saya sebagai ketua IPPM Iwaro atas nama Simon Maurits Soren SH.,MH meminta agar apa yang disampaikan ini dapat ditindaklanjuti, karena sebelum-sebelumnya juga demikian, bupati Anggiluli saat itu juga perna bicara hal yang sama, tapi tidak ada action, hanya sebatas omon-omon,” ujar Simon, saat menghubungi Detikpapua.Net, belum lama ini.
Simon menekankan, masyarakat sangat mendukung langkah yang diambil Pemerintah Sorong Selatan, apalagi yang menyampaikan hal itu merupakan seorang wakil bupati, sehingga menjadi perwakilan baik pemerintah daerah sendiri maupun masyarakat. Dalam menindaklanjuti wacana tersebut, Simon menyarankan pemerintah daerah segera melakukan dua hal yakni mediasi dan gelar tikar adat.
Terkait mediasi, Simon meminta pemerintah menyentuh semua pihak yang terkait dalam aktivitas perkebunan kelapa sawit dan sagu yang ada di Sorong Selatan. Mulai dari pihak pemerintah daerah sendiri, kemudian pihak perusahaan, pemilik hak ulayat, masyarakat adat, lembaga adat, termasuk intelektual dan para tokoh di wilayah yang bersentuhan langsung dengan aktivitas perusahaan baik Perhutani, ANJ, PMP maupun PPM, di wilayah Saga, Puragi, Tawanggere, Sumano, Benawa dan sekitarnya.
“Berikutnya kami minta segera dilakukan gelar tikar adat. Saat perusahaan masuk mau eksplorasi dan eksploitasi digelar tikar adat, nah sekarang kami minta digelar tikar adat kembali untuk membicarakan batas-batas tanah itu, ini yang paling penting, jika batas tanah ini sudah clear maka akan berkaitan dengan plasma, rekonvensi kembali tanah-tanah adat, termasuk masalah CSR dan sebagainya,” sebut Simon.
Lebih jauh ia menjelaskan, ada beberapa persoalan yang sebenarnya sampai saat ini masih belum tuntas diselesaikan pihak perusahaan kepada masyarakat. Pertama terkait harga tual sagu. Memang sejak ada desakan dari mahasiswa harga tual sagu yang dulunya hanya 300-400 rupiah per tual kini sudah naik menjadi 1000 rupiah per tual. Namun, angka tersebut stagnan dan tidak ada kenaikan lagi, padahal jika dilihat harga tersebut masih sangat jauh dari yang diharapkan masyarakat pemilik ulayat.
Kemudian, kedua terkait masalah CSR atau bantuan sosial yang wajib diberikan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Sampai saat ini belum diseriusi bahkan terkesan pihak perusahaan enggan mengeluarkan CSR tersebut kepada masyarakat. Seperti di wilayah Iwaro Tawanggere sampai hari ini tidak berjalan baik.
“Kemudian berikut bicara masalah plasma, ini kan seperti yang dibicarakan 20 persen, undang-undang sudah jelas 20 persen itu diberikan kepada masyarakat dalam hal ini pemilik ulayat, namun sampai hari ini progres di lapangan tidak terlalu signifikan. Masyarakat belum mendapatkan haknya secara utuh,” ungkap Simon.
Keempat, terkait kontrak lahan yang dipakai sejumlah perusahaan di Sorong Selatan. Ia mengambil contoh lahan yang digunakan PT ANJ di wilayah Saga, sampai saat ini tidak jelas kontraknya seperti apa, apakah akan dikembalikan kepada pemilik ulayat jika perusahaan sudah selesai dengan aktivitas sagu, ataukah akan menjadi milik perusahaan untuk seterusnya. Apalagi, sebut dia, di lokasi perusahaan ada sumber kekayaan alam lain seperti minyak dan gas, ini harus diselesaikan secara baik.
“Kami lihat saat ini kan sagu ini sudah mulai habis, maka otomatis perusahaan akan berhenti, kemudian nanti status tanah ini bagaimana, apakah dikembalikan ke masyarakat adat atau bagaimana, sampai sekarang kami belum melihat perjanjian, atau kontrak lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat. Saya minta dokumen-dokumen itu dibuka secara transparan, biar pemerintah, masyarakat pemilik ulayat dan semua pihak tahu,” tekan Simon.
Diakhir penyampaiannya, Simon kembali mengingatkan pemerintah daerah untuk segera menggelar tikar adat yang melibatkan semua pihak terkait. Didalam tikar adat itu akan dibahas terkait hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban dari semua pihak, termasuk pihak perusahaan, pemilik ulayat dan pemerintah daerah. Terkhusus bagi pemilik ulayat, perlu dibahas terlebih dahulu terkait batas-batas wilayah adat masing-masing sub suku bahkan marga yang ada.
“Bapak Wakil Bupati Sorong Selatan harus mempertegas terkait batas-batas wilayah adat. Segera gelar tikar adat untuk tahu batas wilayah adat masing-masing marga. Misalnya antara Kaiso dan Kais (Perhutani) kedua PPM PMP yang meliputi wilayah Puragi Tawanggere, Benawa dan sebagainya, sehingga batas yang ada ini jelas dan ini yang akan mempermuda kita menyelesaikan persoalan plasma tadi, atau CSR atau aspek prisnsipal lainnya,” tuntas Simon.