Sorong, Detikpapua.net – Panitia seleksi (Pansel) DPRP Jalur Pengangkatan Provinsi Papua Barat Daya, hingga kini belum mengumumkan nama-nama yang dinyatakan lolos menjadi calon terpilih untuk menduduki kursi keterwakilan orang asli Papua (OAP) di parlemen. Hingga kini masyarakat PBD pun masih menunggu 9 nama yang bakal ditetapkan dan diumumkan Pansel.
Ditengah penantian 9 nama wakil rakyat tersebut, ruang publik kian ramai dengan arus penolakan terhadap salah satu calon anggota DPRP Jalur pengangkatan yakni mantan anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRP PB) Mathias Fredrik Komegi (MFK). Apalagi belakangan santer kabar beredar bahwa pelaku penolakan UU Otsus Jilid II itu hendak “dipaksakan” untuk lolos sebagai kandidat terpilih oleh Pansel.
Jika sebelumnya sorotan dan penolakan disampaikan oleh Pemerhati Otonomi Khusus (Otsus) Papua Andre Iriwi juga jubir LMA Malamoi Selfianus Malibela, kali ini penolakan datang dari dua tokoh sekaligus yakni Ketua Aliansi Masyarakat Pagar Nusa Papua Provinsi Papua Barat Daya, Arnoldy dan tokoh masyarakat Yance Udam. Keduanya kompak menyebut bahwa MFK sangat tidak pantas menduduki kursi DPR Otsus, mengingat yang bersangkutan adalah pelaku penolakan UU Otsus itu sendiri.
Melalui press releasenya yang diterima media ini, Kamis (06/02/2025), Ketua Aliansi Masyarakat Pagar Nusa Papua Provinsi Papua Barat Daya, Arnoldy menegaskan secara etika dan moral MFK dinilai sangat tidak layak menduduki kursi DPRP dari jalur pengangkatan yang murni merupakan amanat UU nomor 2 tahun 2021 tentang otonomi khusus (Otsus) Papua.
Pasalnya, MFK merupakan salah satu tokoh yang secara terang-terangan menyatakan sikap menolak kehadiran UU Otsus di tanah Papua, saat hendak direvisi (perubahan dari UU nomor 21 tahun 2001 menjadi UU nomor 2 tahun 2021). Peristiwa penolakan tersebut dilakukan MFK bersama sejumlah anggota MRP PB dalam rapat dengar pendapat (RDP) setahun sebelum pengesahan UU Otsus jilid II yakni pada tahun 2020 lalu.
Kala itu, MFK yang masih aktif sebagai anggota MRP PB juga diketahui ikut menandatangani pernyataan sikap resmi MRP PB yang menyatakan menolak kehadiran UU Otsus di tanah Papua. Sikap ini tentu sangat bertentangan dengan moral dan etika, ketika pada hari ini yang bersangkutan ikut merebut jatah kursi Otsus yang merupakan anak kandung dari produk undang-undang yang dulunya dengan lantang ia tolak.
“Bagaimana bisa seseorang yang dulunya dengan terang-terangan bahkan dalam format yang resmi menolak UU Otsus, kemudian hari ini ingin menikmati jatah kursi Otsus itu sendiri. Tentu ini sangat bertolak belakang dengan moral dan etika, serta budaya malu sebagai anak bangsa khususnya kita sebagai orang Papua,” ujar Arnoldy.
Lebih jauh ia menekankan, sikap yang ditunjukan anggota MRP PB kala itu, termasuk MFK didalamnya merupakan bentuk pembangkangan terhadap kepentingan negara diatas tanah Papua. Apalagi, sebut dia, UU Otsus merupakan wujud keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan kesenjangan yang terjadi di tanah Papua. Sehingga, sangat tidak masuk akal ketika pemerintah memberi kepercayaan kepada orang yang telah membangkang untuk mengemban amanah menjaga marwah dan kemurnian spirit dari UU Otsus itu sendiri.
“Saya pikir pemerintah pusat tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, harus tegas dan selektif dalam menentukan siapa saja yang dipercaya untuk menjadi bagian dari perjalanan Otsus ini. Orang-orang yang dulunya menolak Otsus seperti saudara MFK ini jangan sampai diakomodir, selain bisa melukai hati sebagian besar orang Papua yang menerima Otsus tetapi juga mengancam kepentingan negara diatas tanah ini,” tegas Arnoldy.
Sementara Tokoh Masyarakat Papua Yance Udam menyoroti sikap salah satu angota Pansel DPR PB Otto Ihalauw yang diisukan dan diduga kuat mencoba memaksakan kehendak agar pelaku penolakan UU Otsus yakni MFK bisa diakomodir menjadi anggota terpilih DPRP PBD jalur pengangkatan.
Menurutnya, sikap yang ditunjukan Otto Ihalauw sangat melukai hati masyarakat, apalagi yang bersangkutan mengetahui bahwa belakangan di masyarakat muncul begitu banyak penolakan terhadap calon yang diendorsenya itu. Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah karena bisa menimbulkan kecemburuan sosial yang berujung pada gangguan stabilitas keamanan di di daerah.
“Kami mendesak Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi Pansel DPRP Otsus Papua Barat Daya, khususnya saudara Otto Ihalauw agar tidak memaksakan diri untuk meloloskan calon yang diketahui perna menolak UU Otsus. Kami meminta dengan tegas untuk nama MFK tidak boleh diloloskan karena yang bersangkutan terlibat dengan kegiatan melawan negara yaitu menolak UU Otsus,” ucap Yance.