Oleh: πππ£π©π€ ππππ (πππ©πͺπ ππ’πͺπ’ ππ€π₯ππ§π)
Per September 2025, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua Barat Daya baru mencapai 28 persen. Padahal, transfer dana dari pemerintah pusat telah terealisasi 45 persen. Artinya, meski ruang fiskal tersedia, eksekusi belanja daerah berjalan lambat. Dana Otonomi Khusus (Otsus) hanya terserap pada triwulan pertama, sementara pembahasan APBD Perubahan 2025 belum dimulai. Dengan sisa waktu kurang dari tiga bulan, terdapat risiko lebih dari Rp1 triliun anggaran tidak terserap. Kondisi ini bukan sekadar keterlambatan administratif, tetapi ancaman langsung bagi stabilitas ekonomi daerah karena uang yang seharusnya beredar di masyarakat tertahan di kas daerah.
Lambatnya serapan ini mencerminkan problem tata kelola. Mekanisme birokrasi pencairan anggaran masih berbelit, koordinasi antar-OPD berjalan tidak efektif, dan kapasitas sumber daya manusia pengelola anggaran terbatas. Akibatnya, belanja publik yang seharusnya menopang pembangunan justru stagnan. Serta terlambatnya Penbahasan APBD Perubahan Tahun 2025.
ππ£π π¨ππ‘ππ π¨πππ₯π?
- Apakah kesalahan kebijakan Gubernur tentang mekanisme sistem pencairan anggaran yang berbelit dengan alur koordinasi birokrasi yang panjang dan rumit?
- Apakah kesalahan kepala OPD dan staf pengelola keuangan yang sulit beradaptasi terhadap sistem perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan anggaran?
- Apakah kesalahan ketidakmampuan dan keterbatasan SDM pimpinan OPD dan staf pengelola?
- Atau kesalahan dan kelalaian Pj. Sekda selaku kepala administrator dan Ketua Tim Anggaran Pemda yang tidak mengoordinir pimpinan OPD mempercepat penyerapan anggaran dan telambatnya Penyampaikan KUA PPAS APBD P ke Legislatif.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menegaskan bahwa rendahnya serapan anggaran bukan hanya soal teknis, melainkan persoalan tata kelola dan kepemimpinan.
Untuk keluar dari situasi ini, langkah korektif perlu segera diambil. Pertama, Pemerintah daerah harus membangun sistem monitoring berbasis digital yang dapat menampilkan progres realisasi tiap OPD secara real-time. Dengan sistem ini, publik dapat melihat capaian serapan anggaran secara transparan, sementara pimpinan daerah bisa langsung mengidentifikasi OPD yang bermasalah.
Kedua, diperlukan mekanisme rewardβpunishment yang jelas. OPD dengan kinerja baik harus diberikan insentif, sementara OPD yang gagal mencapai target serapan wajib dikenai sanksi tegas, termasuk evaluasi kepemimpinan. Tanpa disiplin fiskal dengan konsekuensi nyata, birokrasi akan tetap berada di zona nyaman.
Ketiga, peningkatan kapasitas SDM pengelola keuangan harus menjadi prioritas. Bimbingan teknis yang berkelanjutan, penggunaan tenaga ahli, serta kerja sama dengan lembaga profesional perlu dilakukan agar pengelolaan anggaran tidak sekadar administratif, tetapi substantif dan produktif.
Keempat, forum koordinasi lintas OPD yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah harus dijalankan secara rutin. Forum ini dapat mempercepat penyelesaian hambatan teknis dan memperpendek rantai birokrasi. Peran Sekda sebagai koordinator utama akan menentukan keberhasilan percepatan serapan anggaran dan Penyusunan KUA PPAS APBD Perubahan.
Kelima Gubernur disarankan merubah alur koordinasu birokrasi yang rumit dan berbelit terkait pencaiaran Anggaran daerah yang mengahambat lambatnya Penyerapan APBD Papua Barar Daya
Jika langkah-langkah ini tidak dilakukan, risiko yang dihadapi tidak sebatas rendahnya serapan anggaran. Dampaknya lebih luas yaitu stagnasi fiskal, pelemahan pertumbuhan ekonomi daerah, turunnya kepercayaan publik, hingga meningkatnya kerentanan sosial-politik. Pengalaman Nepal memberi pelajaran bahwa stagnasi fiskal yang gagal menjawab kebutuhan rakyat dapat memicu instabilitas serius.
Penutup
Serapan anggaran Papua Barat Daya yang baru 28 persen per September 2025, sementara transfer dari pusat sudah mencapai 45 persen, adalah sinyal darurat dalam tata kelola fiskal daerah. Dengan sisa waktu kurang dari tiga bulan, risiko lebih dari Rp1 triliun tidak terserap sangat mungkin terjadi. Situasi ini jelas mengurangi efektivitas APBD sebagai instrumen pembangunan sekaligus melemahkan peredaran uang di masyarakat. Jika dibiarkan, APBD kehilangan fungsi utamanya sebagai motor pertumbuhan ekonomi daerah.
Kondisi ini tidak bisa dipandang sebagai kesalahan teknis semata. Lambannya serapan anggaran dan terlambatnya Penyampaian KUA PPAS APBD Perubahan adalah akumulasi dari kebijakan yang berbelit, lemahnya adaptasi birokrasi, keterbatasan kapasitas SDM, serta minimnya koordinasi di tingkat pimpinan. Maka, koreksi tidak cukup dilakukan secara parsial. Pemerintah daerah perlu memastikan sistem monitoring digital berjalan, menerapkan rewardβpunishment secara konsisten, memperkuat kapasitas teknis pengelola keuangan, dan mengoptimalkan koordinasi lintas OPD yang dipimpin langsung oleh Sekda. Tanpa koreksi sistemik ini, anggaran yang tersedia hanya akan menjadi angka di atas kertas.
Lebih jauh, rendahnya serapan anggaran memiliki konsekuensi sosial-politik yang serius. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan kepada pemerintah daerah, pembangunan terhambat, dan ketidakpuasan publik berpotensi meluas. Pengalaman Nepal membuktikan bahwa stagnasi fiskal yang gagal menjawab kebutuhan rakyat dapat memicu instabilitas politik. Papua Barat Daya harus belajar dari pengalaman tersebut. Mengabaikan koreksi sama dengan membuka jalan bagi krisis kepercayaan publik. Karena itu, percepatan serapan anggaran harus ditempatkan sebagai agenda strategis yang menyangkut masa depan pembangunan dan stabilitas daerah.