“Kami datang bukan kosong tangan. Kami bawa data. Nama-nama lengkap mama-mama yang berdagang. Ini bukti kami serius. Tapi gubernur tidak ada. Kami kecewa,” Levina Duwit.
Sorong, Detikpapua.Net– Di tengah panas menyengat halaman Kantor Gubernur Papua Barat Daya, mama-mama Papua kembali berdiri dengan teguh. Tangan kanan menggenggam plastik sirup berisi air sebagai penawar dahaga, tangan kiri menggenggam berkas data hasil pendataan yang mereka kumpulkan sendiri dengan penuh ketekunan. Mereka tidak datang untuk membuat keributan—mereka datang membawa harapan dan tanggung jawab.

Hari ini, mereka ingin menepati bagian dari janji yang pernah diucapkan Gubernur Papua Barat Daya: menyerahkan data nama-nama pedagang mama-mama Papua yang selama ini berjualan tanpa tempat tetap. Namun pintu harapan yang mereka datangi, kembali tertutup. Gubernur tidak hadir. Bahkan setelah menunggu berjam-jam di bawah terik matahari, tak satu pun pejabat tinggi provinsi menemui mereka secara layak.

“Kami datang bukan kosong tangan. Kami bawa data. Nama-nama lengkap mama-mama yang berdagang. Ini bukti kami serius. Tapi gubernur tidak ada. Kami kecewa,” ujar mama Levina Duwit dengan nada sedih namun tetap tenang.
Penjabat Sekretaris Daerah Papua Barat Daya, Drs. Yakob Karet, M.Si, sempat menemui mereka dalam ruangan tertutup, namun pertemuan itu pun berakhir tanpa arah. Bukannya menjembatani aspirasi ke Gubernur, Sekda justru menyarankan agar mama-mama melakukan aksi di Kantor DPR Papua Barat Daya. Alasan yang diberikan: “DPR juga wakil rakyat”.

Sikap ini dirasakan oleh mama-mama Papua sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab dari pemerintah provinsi. Mereka datang ke tempat yang seharusnya menjadi pusat pengambilan keputusan. Tapi yang mereka temui justru adalah pengalihan, bukan penyelesaian.

“Kalau dari awal kami disuruh ke DPR, kenapa waktu aksi pertama gubernur janji di sini? Sekarang kami datang baik-baik, bawa data, tapi justru disuruh jalan lagi. Pemerintah ini serius bantu kami atau tidak?” tanya seorang mama yang wajahnya penuh peluh namun matanya menyala.
Mama-mama Papua bukan hanya figur pedagang kecil. Mereka adalah tulang punggung ekonomi rumah tangga dan simbol keteguhan perempuan adat dalam menjaga kehidupan. Datang dengan sopan, tertib, dan membawa hasil kerja keras berupa data lapangan, seharusnya menjadi pertimbangan serius dari siapa pun yang duduk di kursi kekuasaan.

Namun kenyataannya, air dalam plastik dan data di tangan mereka tak cukup membuka pintu kekuasaan. Yang mereka dapatkan hanyalah tatapan dingin, ruang kosong, dan janji yang kembali menggantung.
“Kami tidak akan berhenti. Kami akan cari jalan sampai suara kami benar-benar didengar,” tegas seorang mama sebelum aksi ditutup secara damai.