Sorong, Detikpapua.Net – Kinerja dan profesionalitas Panitia Seleksi (Pansel) DPRP jalur pengangkatan Provinsi Papua Barat Daya, terus menuai sorotan di kalangan masyarakat. Begitu banyak kritikan bahkan protes keras yang dilayangkan sejumlah pihak atas beberapa putusan Pansel karena dinilai berada diluar koridor aturan yang ada.
Sorotan tajam atas kinerja Pansel kembali muncul di ruang publik. Kali ini datang dari Tokoh Intelektual Maybrat Frans Kareth, yang mengaku sangat menyangsikan independensi dan profesionalitas para anggota Pansel DPRP PBD.
Melalui press releasenya yang diterima media ini, Senin (03/02/2025), Frans menyoroti beberapa putusan Pansel yang menurutnya sangat jauh dari amanat UU Otsus maupun aturan turunan, termasuk petunjuk teknis (Juknis) yang telah ditetapkan.
Salah satu putusan yang paling disoroti adalah terkait dengan pemisahan seleksi rekam jejak dengan seleksi lainnya, sebagaimana telah diumumkan oleh Pansel beberapa waktu lalu. Menurutnya, seleksi rekam jejak mestinya tidak bisa dipisahkan, karena menjadi satu kesatuan dengan seleksi lainnya.
Hal ini, tentu mengundang tanya di benak publik, sekaligus memunculkan sejumlah asumsi yang berakhir pada penilaian bahwa Pansel tidak lagi independen dan profesional dalam melakasanakan tugasnya.
“Tentu kami sangat meragukan kinerja dan profesionalitas Pansel karena pansel bekerja keluar dari tahapan seleksi. Semestinya rekam jejak ada diawal, namun oleh Pansel dilakukan di akhir seleksi, bahkan tahapan rekam jejak dipisahkan sendiri. Hal ini tentu akan membuat celah hukum bagi peserta seleksi untuk melakukan gugatan, sehingga Pansel dinilai bekerja tidak tunduk kepada aturan dan kewenangan yang negara berikan, malahan bekerja diluar dari tahapan sebenarnya,” ujar Frans.
Ia juga menyoroti terkait adanya calon yang hingga kini masih dinyatakan lolos sejumlah tahapan seleksi, padahal mereka diketahui sebagai pelaku penolakan UU Otonomi khusus (Otsus) saat hendak direvisi pada tahun 2020 lalu. Hal ini, tentu bertentangan dengan moral dan etika serta dikhawatirkan berpotensi merusak citra dan kepentingan negara diatas tanah Papua Barat Daya.
Selain itu, keputusan Pansel dengan meloloskan kandidat yang perna menolak Otsus juga berpotensi menimbulkan gesekan di kalangan masyarakat akibat kecemburuan sosial. Masih banyak kandidat lain yang latar belakangnya justru menerima Otsus tetapi malah diabaikan hak politiknya oleh Pansel.
Untuk itu, ia meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden melalui Mendagri segera mengevaluasi bahkan membubarkan Pansel DPR PBD, serta mengambil alih proses seleksi untuk dilakukan secara profesional, akuntabel dan transparan. Hal ini penting demi menjamin rasa keadilan bagi orang asli Papua (OAP), tetapi sekaligus menjamin kepentingan negara di tanah Papua.
“Pansel DPR Papua Barat Daya gagal menjalankan perintah negara dengan meloloskan ex penolakan Otsus kedalam 18 besar nama-nama yang lolos seleksi, kemudian keluar dari tahapan dan mekanisme seleksi karena yang seharusnya seleksi rekam jejak terlebih dahulu pansel melaksanakan diakhir, sehingga kami meminta kepada Mendagri untuk mengkaji ulang semua tahapan seleksi. Kami juga mendesak Presiden Republik Indonesia, Menkopolhukam, Menkumham, Mendagri, Kepala BIN RI, Kepala Kejaksaan tinggi untuk secepatnya membubarkan Pansel DPR Papua Barat Daya karena bekerja tidak sesuai dengan perintah dan amanah negara,” ucap Frans.