Sorong, Detikpapua.Net – Masyarakat Indonesia baru saja usai melaksanakan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang secara serentak dilakukan di seantero tanah air pada Rabu, 27 November 2024 lalu. Secara keseluruhan pelaksanaan Pilkada berjalan aman dan lancar.
Namun, meski semua tahapan Pilkada telah usai dan masyarakat sudah menyalurkan hak suaranya, hingga kini masyarakat di sejumlah wilayah belum bisa mendapat kepastian, terkait siapa yang akan menjadi pemimpin di daerahnya masing-masing. Hal ini disebabkan masih terdapat banyak gugatan hasil Pilkada yang masuk ke meja Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Banyaknya gugatan yang masuk ke MK, tidak lain karena oleh sebagian pihak merasa bahwa pelaksanaan Pilkada tidak demokrastis dan tidak sesuai dengan asas pemilu yang sesungguhnya. Diduga banyak intrik dan kecurangan yang terjadi saat pelaksanaan Pilkada, sehingga hasilnya tidak bisa diterima semua pihak dan harus diputuskan melalui ranah hukum dalam hal ini di tingkat MK.
Fenomena ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada yang berujung di MK juga begitu terasa di wilayah Provinsi Papua Barat Daya (PBD). Bahkan dari tingkat provinsi hingga 5 kabupaten 1 kota di wilayah tersebut, hanya satu daerah saja yang tidak menggugat ke MK yakni Pilkada Kabupaten Sorong yang dimenangkan oleh Pasangan Dr. Johny Kamuru, SH.,M.Si dan H. Ahmad Sutejo, S.Pd.
Sementara 6 hasil Pillada lainnya yakni Pilkada Provinsi PBD sendiri, kemudian Pilkada Kota Sorong, Kabupaten Maybrat, Sorong Selatan, Raja Ampat dan Tambrauw semua dipastikan akan berakhir di MK. Dari penelusuran media ini pada website dan informasi resmi MK, diketahui hampir semua gugatan dari wilayah provinsi PBD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota, semuanya mengusung dalil kecurangan Pemilu.
Lalu bagaimana peluang gugatan-gugatan tersebut, apakah akan diterima atau ditolak? tentu kewenangan tertinggi hanya ada di tangan para hakim MK. Para hakimlah yang berhak menilai, mengevaluasi, mempertimbangkan dan memutuskan apakah gugatan-gugatan tersebut layak diterima atau sebaliknya.
Tentu dalam pengambilan keputusan, para hakim sudah dibekali dengan panduan-panduan hukum yang ada. Selain memperhatikan penerapan Pasal 158 UU Pilkada terkait ambang batas perselisihan suara, hakim MK juga bisa mempertimbangkan materi gugatan beserta alat bukti yang disajikan para pemohon.
Jika dalil dan bukti yang disajikan cukup kuat dan meyakinkan, bukan tidak mungkin MK akan mengesampingkan Pasal 158 dan masuk dalam materi gugatan yang berakhir pada putusan mengabulkan petitum (tuntutan) pemohon.
Berikut kami sajikan data hasil putusan MK yang berhubungan dengan materi gugatan dan mengesampingkan Pasal 158 tentang ambang batas perselisihan suara. Ada 10 putusan yang kami rangkum dari pelaksanaan Pilkada rentan waktu 2010-2020 di beberapa wilayah di Indonesia:
- Pilkada Kota Banjarmasin (2020) Pasangan Haris Makkie – Ilham Noor didiskualifikasi karena pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), seperti pembagian bantuan sosial yang dikaitkan dengan kampanye.
- Pilkada Kabupaten Mandailing Natal (2010) Pasangan calon didiskualifikasi karena manipulasi data pemilih dan penggunaan aparatur negara untuk mempengaruhi hasil.
- Pilkada Kabupaten Dogiyai (2017) Pasangan calon didiskualifikasi akibat intimidasi terhadap pemilih serta pelanggaran administrasi dalam proses pemungutan suara.
- Pilkada Kabupaten Tolikara (2017) MK memutuskan diskualifikasi setelah menemukan pelanggaran dalam rekapitulasi suara yang tidak sesuai dengan aturan.
- Pilkada Kabupaten Sabu Raijua (2020) Calon Bupati Orient P. Kiwu Kore didiskualifikasi karena terbukti masih memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat, melanggar syarat pencalonan.
- Pilkada Kota Surabaya (2010) MK memerintahkan pemilu ulang karena adanya pelanggaran administrasi, termasuk penyalahgunaan fasilitas negara.
- Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat (2010) Pasangan calon didiskualifikasi karena keterlibatan pihak pemerintah daerah dalam memenangkan salah satu calon.
- Pilkada Kabupaten Kepulauan Sula (2015) MK mendiskualifikasi calon karena melakukan pembagian uang kepada pemilih secara masif.
- Pilkada Kabupaten Serang (2010) Diskualifikasi karena penggunaan dana bantuan sosial (Bansos) dan fasilitas pemerintah untuk kepentingan kampanye salah satu pasangan calon.
- Pilkada Kabupaten Halmahera Selatan (2010)
MK mendiskualifikasi pasangan calon karena terbukti adanya manipulasi data pemilih yang menciptakan keuntungan tidak adil.
Kasus-kasus ini menunjukkan peran MK dalam memastikan keadilan dan integritas proses pemilu di Indonesia. Khusus untuk gugatan Pilkada 2024 di wilayah Provinsi Papua Barat Daya, sampai saat ini belum ada putusan inkrah dari MK. Masyarakat diharapkan bersabar dan menyerahkan sepenuhnya semua proses hukum kepada MK, sembari menjaga keamanan dan ketertiban serta siap menerima dan menghormati apapun keputusan MK nantinya.