“Tidak ada satu pun sejarah di tanah Papua yang menunjukkan bahwa orang Papua hidup makmur karena tambang atau kelapa sawit skala besar. Tidak ada. Yang ada adalah kerusakan dan kehilangan” Prof Sepus Fatem
Tambrauw, Detikpapua.Net–
Kunjungan Duta Besar (Dubes) Finlandia ke Kabupaten Tambrauw menjadi momen penting yang menyuarakan sebuah pesan kuat: konservasi harus seimbang dengan pembangunan manusia.
Dalam pernyataan mendalam yang disampaikan oleh Guru Besar Kehutanan asal Papua, Prof. Sepus Fatem, ditegaskan bahwa pendekatan konservasi tidak boleh mengabaikan aspek kehidupan masyarakat adat.

“Anak-anak kita kurang mendapat perhatian. Kehidupan, pendidikan, dan kesehatan mereka masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar. Di sisi lain, masyarakat sangat percaya pada kekuatan spiritualitas. Semua inisiasi sosial di akar rumput, dari penutupan hingga pembukaan kawasan konservasi, dimulai dan diakhiri dengan ibadah. Itu artinya, gereja dan pemimpin spiritual lokal harus dilibatkan aktif dalam pembangunan,” tegas Prof. Fatem.
Prof. Fatem juga menyampaikan apresiasi kepada mitra konservasi seperti WWF Finlandia, dan Dubes Finlandia yang telah menjalin kolaborasi nyata di Tambrauw.

“Kehadiran Dubes tidak hanya simbolik, tetapi memberi nilai positif atas arah kebijakan Tambrauw sebagai kabupaten konservasi yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa sekarang saatnya Pemerintah Daerah mengarahkan kebijakan anggaran dan regulasi pada penguatan sektor wisata berbasis alam atau blue water destination.

“Kita sudah membuka pintu. Mata dunia sedang tertuju ke Tambrauw. Mari kita rebut peluang ini dan pastikan kita punya benteng yang melindungi masyarakat dari dampak buruk ekspansi yang tidak terkendali,” katanya.
“Tanpa Tambang, Tanpa Sawit Skala Besar, Kita Bisa Hidup”
Prof. Fatem menyuarakan kritik tajam terhadap model pembangunan berbasis ekstraksi seperti tambang dan perkebunan sawit. “Tidak ada satu pun sejarah di tanah Papua yang menunjukkan bahwa orang Papua hidup makmur karena tambang atau kelapa sawit skala besar. Tidak ada. Yang ada adalah kerusakan dan kehilangan,” ujarnya tegas.

Sebagai alternatif, ia mengajak seluruh masyarakat adat untuk melihat kekayaan alam dan budaya sebagai aset utama. “Tanah, hutan, burung cendrawasih, kayu, cerita rakyat, dan ekowisata, inilah modal sejati kita. Kita bisa hidup tanpa nikel, tapi kita tidak bisa hidup tanpa tanah dan hutan,” jelasnya.
Konservasi Adat dalam Kerangka Hukum
Menurut Prof. Fatem, langkah strategis untuk memperkuat perlindungan masyarakat adat adalah melalui penetapan hutan adat secara hukum.
“Kalau sudah ditetapkan oleh SK Bupati dan direkomendasikan oleh Gubernur ke pusat, maka wilayah tersebut masuk dalam tata hukum nasional. Tidak bisa diganggu gugat. Kita bisa kelola hasil hutan bukan kayu, kita bisa kembangkan ekowisata secara legal dan berkelanjutan,” katanya.

Ia menekankan bahwa konservasi bukan hanya menjaga hutan dari kerusakan, tetapi juga memastikan masyarakat adat bisa hidup bermartabat dari tanah mereka sendiri.
“Mari kita bangun Indonesia versi Papua, dengan cara yang bijak, adil, dan sesuai dengan iman kita. Sasi yang dibuka hari ini dalam ibadah, itu pengakuan bahwa alam adalah karya Tuhan. Maka menjaganya adalah ibadah juga,” pungkasnya.