SORONG, DetikPapuaNet– Dunia jurnalistik kembali mendapat tamparan keras dari sikap arogan seorang pejabat publik di Kota Sorong, Papua Barat Daya. Kepala Puskesmas Distrik Sorong diduga bersikap tidak profesional dengan mengusir sejumlah jurnalis televisi yang sedang menjalankan tugas peliputan pada Kamis (25/9/2025). Tidak hanya itu, ia bahkan disebut sempat mengeluarkan nada tinggi yang dinilai intimidatif terhadap wartawan.
Insiden tersebut langsung menuai kecaman keras dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Wilayah Papua-Maluku. Koordinator IJTI, Chandry Suripati, menilai tindakan Kepala Puskesmas tidak hanya melukai kerja-kerja jurnalistik, tetapi juga berpotensi melanggar hukum.
“Pertama-tama, kami dari Ikatan Jurnalis Televisi sebagai konstituen Dewan Pers menyesalkan sikap Kepala Puskesmas Distrik Sorong yang arogan dan tidak profesional. Tindakan pengusiran dan intimidasi terhadap wartawan jelas bentuk pelecehan terhadap kebebasan pers,” tegas Chandry dalam pernyataannya.
Menurut IJTI, apa yang dilakukan Kepala Puskesmas Sorong bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Menghalangi kerja jurnalistik, lanjut Chandry, dapat dikategorikan sebagai obstruction of journalism yang memiliki konsekuensi hukum.
Lebih jauh, IJTI juga menilai sikap Kepala Puskesmas bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebagai lembaga pelayanan kesehatan, puskesmas memiliki kewajiban menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, bukan justru menutupinya dengan tindakan represif.
“IJTI menegaskan bahwa jurnalis bekerja berdasarkan undang-undang sekaligus dilindungi oleh undang-undang. Karena itu, kami mendesak Wali Kota Sorong dan Dinas Kesehatan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kepala Puskesmas Distrik Sorong. Pemerintah tidak boleh membiarkan sikap arogan semacam ini tumbuh subur di institusi publik,” kata Chandry.
Lebih keras lagi, Chandry menegaskan IJTI tidak akan tinggal diam jika pemerintah kota tidak mengambil langkah tegas. “Jika pemerintah tidak bertindak, maka IJTI akan membawa persoalan ini ke Dewan Pers. Kami akan menempuh langkah hukum agar kejadian memalukan ini tidak kembali terjadi,” tegasnya.
Ia menambahkan, penghormatan terhadap kebebasan pers adalah pilar penting demokrasi dan bagian dari tata kelola pemerintahan yang transparan. Jika pejabat publik justru menutup diri dan mengintimidasi jurnalis, maka publiklah yang paling dirugikan.
“Perlu dipahami bahwa jurnalis adalah jembatan informasi antara pemerintah dan masyarakat. Menghalangi kerja pers sama saja dengan merampas hak publik untuk tahu. Dan itu jelas merupakan pelanggaran serius yang tidak boleh ditoleransi,” tandas Chandry Suripati.
IJTI Papua-Maluku berharap insiden ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Mereka menegaskan, kasus serupa tidak boleh terulang, karena akan mencoreng wajah demokrasi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pelayanan publik.