Example floating
BeritaHomeLingkunganOpiniPapua Barat Daya

Ketika Elisa Kambu dan Septinus Lobat Ikut Menikmati Banjir di Kota Sorong

309
×

Ketika Elisa Kambu dan Septinus Lobat Ikut Menikmati Banjir di Kota Sorong

Sebarkan artikel ini

#Keadilan Sosial yang Hakiki?

Oleh: Yohanes Kossay

Hujan deras di Kota Sorong kembali mempersembahkan tontonan akbar: banjir tahunan. Di Kompleks Jupiter Km 10, saya terjebak di bawah tenda bekas jualan pinang mama-mama Papua. Motor saya sebagian terendam, jalan sudah jadi sungai dan warga sibuk menyelamatkan diri masing-masing.

“Adoh, sudah banjir lagi. Bagaimana kita bisa pulang ini,” gumam Yohanes Sole, rekan saya.

Pertanyaan sederhana itu sebenarnya lebih dalam: kapan Sorong berhenti tenggelam?
Lucunya, kota ini punya dua orang penting yang berkantor sekaligus tinggal di sini: Gubernur Elisa Kambu dan Walikota Septinus Lobat. Dua orang yang konon memegang kuasa dan anggaran, dua orang yang harusnya mencari solusi, tapi entah mengapa lebih sering ikut jadi “penonton” tetap di panggung banjir Sorong.

Malah kabarnya, pelataran kantor walikota yang juga dipakai gubernur pun ikut tergenang. Artinya, pemimpin dan rakyat sama-sama kebanjiran. Hebat, bukan? Inilah keadilan sosial versi Sorong—air tak pandang bulu, dari mama-mama penjual pinang sampai gubernur pun dapat jatah.

Bedanya, rakyat hanya punya ember dan kain pel, sementara pejabat punya mobil dinas tinggi-tinggi yang bisa menerobos genangan. Rakyat mengangkat motor ke trotoar, pejabat cukup mengangkat safari supaya tidak basah.

Jika begini terus, mungkin sudah saatnya kita resmikan: Banjir adalah program unggulan pemerintah Kota Sorong dan Papua Barat Daya. Prestasi yang konsisten, tak pernah absen setiap musim hujan. Bahkan lebih konsisten daripada janji kampanye.

Kenapa tidak dibuat saja baliho besar:
“Selamat Datang di Kota Sorong – Nikmati Banjir Bersama Gubernur dan Walikota.”
Atau sekalian ajukan ke Kementerian Pariwisata: jadikan banjir sebagai destinasi unggulan. Bayangkan paket tour: city tour naik perahu karet di Jalan Basuki Rahmat, selfie genangan di depan kantor walikota, plus bonus minum kopi sambil menyaksikan rakyat mendayung motor yang mogok di Km 10.

Karena kalau bicara solusi, sampai sekarang entah di mana. Yang jelas, banjir selalu ada, pejabat selalu berpidato, dan rakyat selalu jadi korban. Jadi mari kita tepuk tangan untuk keberhasilan menjaga “tradisi banjir” sebagai warisan turun-temurun.

Di kota ini, air bukan hanya menggenang jalanan, tapi juga menggenangi akal sehat pemerintahnya.

Penulis Adalah Pimpinan Redaksi Detikpapua.net dan berdomisili di Kota Sorong

height="600"/>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *