Sorong, Detikpapua.Net – Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa) Prof. Dr. Ir. Sepus Marten Fatem, S.Hut., M.Sc hadir sebagai perwakilan akademisi dalam kegiatan Konsultasi Publik terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang digelar di Rillych Panorama Hotel, Kota Sorong, Kamis (31/07/2025).

Pada kesempatan itu, Prof Sepus berkesempatan memaparkan sejumlah pandangan dan masukan untuk memboboti RUU Masyarakat Adat tersebut. Selain berbicara dihadapan para peserta konsultasi, Prof Sepus juga terlibat dalam diskusi terkait pembedahan sejumlah pasal yang termaktub dalam RUU Masyarakat Adat.
Saat diwawancarai awak media, Prof Sepus menerangkan kegiatan konsultasi publik tersebut berkaitan dengan pembahasan draft RUU masyarakat adat. Ini dilakukan dalam rangka menggalang pikiran, saran, dan input dari masyarakat, khususnya di Regio Papua terhadap substansi dari rencangan undang-undang tersebut.

Selain itu, kegiatan juga dimaksudkan untuk menggalang kekuatan masyarakat sipil dan lembaga-lembaga kultur maupun lembaga-lembaga legislatif untuk berkolaborasi dalam rangka mendukung percepatan pembahasan RUU sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) yang harus segera dibahas dan disahkan.
“Nah kehadiran saya diundang sebagai akademisi untuk membedah poin-poin mana yang perlu diakomodasi dalam RUU tersebut. Tentu, RUU ini diharapkan akan menjadi salah satu bagian yang memperkuat undang-undang otonomi khusus Papua,” ujar Prof Sepus Fatem di sela-sela kegiatan.
Lebih jauh ia menjelaskan, dalam draft RUU Masyarakat Adat tersebut, ada beberapa pasal yang sudah diusulkan pihaknya untuk dilakukan pembobotan. Contoh terkait dengan kelembagaan masyarakat adat di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten kota.

Selain itu, bagaimana RUU ini bisa memberikan kepastian terhadap upaya perlindungan dan pengakuan masyarakat adat, tetapi juga memberikan kepastian hukum terhadap orang, institusi atau individu yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat agar terhindar dari resiko hukum, karena kebanyakan aktivis yang membela hak masyarakat adat di atas tanah, hutan, lahan, dan sebagainya akan berhadapan dengan proses hukum.
“Kemudian yang paling penting adalah bahwa hari ini di Papua itu konflik antara masyarakat adat dengan korporasi, dengan kekuatan negara itu terus meningkat. Oleh karena itu kita berharap undang-undang ini dia akan mengisi kelemahan-kelemahan itu,” sebut Prof Sepus.
Ia juga berpandangan bahwa melalui RUU Masyarakat Adat ini, kedepan masyarakat adat diberikan ruang yang seluas-luasnya, dalam proses pengambilan keputusan, juga dalam aspek pemberdayaan khususnya bagi masyarakat yang ada di area dimana aktivitas pemerintahan, investasi maupun lainnya beroperasi.

“Salah satu aspek yang saya bicarakan sebagai narasumber itu adalah terkait dengan kemungkinan adanya keterlibatan masyarakat dalam usaha-usaha investasi yang berkeadilan dan ramah lingkungan. Misalnya penyertaan modal dalam konteks aset tanahnya atau lahan dibuat dalam perjanjian, karena kita mau masyarakat ini juga berkembang dan maju ekonominya, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya,” sebut Prof Sepus.
Prof Sepus menambahkan, momentum konsultasi publik tersebut tidak hanya membahas soal pasal-perpasal tetapi harus ada semacam rekomendasi atau pernyataan sikap sebagai bentuk komitmen masyarakat dalam mendukung percepatan pengesahan RUU tersebut.
“Kita berharap harus ada deklarasi Sorong atau deklarasi Papua Barat Daya, meminta kepada Bapak Presiden dan legislatif untuk sesegera melakukan penetapan dan pembahasan rancangan undang-undang menjadi undang-undang masyarakat adat,” ungkapnya.
Dicecar terkait konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun investor yang terus terjadi di tanah Papua, Prof Sepus mengakui bawasannya, salah satu kendala yang dihadapi dalam upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat terkait dengan cantolan hukum secara nasional yang membingkai peraturan-peraturan di tingkat bawah.
“Kalau RUU ini disahkan, otomatis dia akan mengakomodasi, menjembatani dinamika masyarakat adat termasuk konflik tadi. Karena dari 32 pasal yang diatur dalam undang-undang itu semua sudah ada di dalamnya. Baik itu terkait hak-hak masyarakat adat, kemudian manajemen penyelesaian konflik, dan lainnya semua sudah diatur di dalam. Kita berharap RUU ini hadir semua persoalan yang selama ini terjadi secara perlahan bisa terurai,” pungkasnya.