“Definisi ini bukan sekadar wacana, tetapi dasar hukum yang wajib dijabarkan dalam bentuk Perdasus. Kalau belum ada regulasi yang jelas soal siapa itu Orang Asli Papua, bagaimana mungkin kita mau mulai pendataan atau bahkan menetapkan kebijakan afirmatif?” Yanto Ijie
Sorong , Detikpapua.Net – Ketua Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (FOPERA), Yanto Ijie, menegaskan bahwa penyusunan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) di Tanah Papua wajib dilakukan secara hati-hati dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dalam pernyataannya, Yanto menyebut bahwa rencana pendataan Orang Asli Papua (OAP) haruslah mengacu kepada pasal 1 angka 22 dalam undang-undang tersebut, yang menyatakan bahwa Orang Asli Papua adalah mereka yang berasal dari ras Melanesia dari suku-suku asli Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua.
“Definisi ini bukan sekadar wacana, tetapi dasar hukum yang wajib dijabarkan dalam bentuk Perdasus. Kalau belum ada regulasi yang jelas soal siapa itu Orang Asli Papua, bagaimana mungkin kita mau mulai pendataan atau bahkan menetapkan kebijakan afirmatif?” tegas Yanto Ijie saat jumpa pers yang digelar di sekretariat FOPERA Jalan Malibela, Kamis, 30/7/2025.
Menurut Yanto, penyusunan Perdasus tentang definisi OAP merupakan langkah awal dan sangat krusial untuk menghindari kekacauan administratif dan risiko hukum di kemudian hari. Ia mencontohkan potensi kegagalan kebijakan seperti dalam proses pencalonan kepala daerah oleh figur yang mengklaim sebagai OAP tanpa landasan adat dan hukum yang sah.
“Contohnya, hari ini ada calon gubernur yang diakui hanya karena ‘diterima’ oleh kelompok tertentu. Kalau tidak ada aturan baku, itu bisa jadi bom waktu. Kita harus finalkan dulu pasal 1 angka 22 ini dalam bentuk Perdasus sebelum berbicara soal pendataan, pelayanan pendidikan, kesehatan, dan hak atas tanah,” tegasnya lagi.
Yanto juga mempertanyakan klaim jumlah OAP di beberapa kota yang menurutnya tidak memiliki dasar data yang valid.
“Kalau hari ini disebutkan 77.776.000 orang OAP di satu kota, pertanyaannya: berdasarkan instrumen hukum apa mereka dikategorikan sebagai OAP? Kalau datanya tidak sah, kebijakannya bisa gagal dan melukai keadilan sosial,” tambahnya.
Dalam pandangannya, ketidaktegasan dalam menetapkan definisi OAP dapat membuka ruang bagi pendatang yang tidak memenuhi syarat hukum untuk menikmati hak-hak khusus yang semestinya diperuntukkan bagi masyarakat adat Papua. Hal ini justru akan menimbulkan diskriminasi negatif terhadap orang Papua itu sendiri.
Yanto juga menyoroti pentingnya kejelasan jalur keturunan yang menjadi dasar klaim ke-OAP-an.
“Kalau tidak ada ketentuan yang jelas, nanti siapa pun bisa mengklaim sebagai orang Papua, bahkan keturunan ke-7 atau ke-12. Ini sangat berisiko,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Yanto Idjie meminta semua pihak, baik pemerintah provinsi, DPR Papua, maupun Majelis Rakyat Papua, untuk serius dan segera menyusun serta menetapkan Perdasus tentang definisi Orang Asli Papua. Tanpa regulasi yang sah, seluruh kebijakan afirmatif berpotensi cacat hukum.
“Ini bukan soal emosi, ini soal konstitusi. Kita bicara soal hak konstitusional orang asli Papua, dan itu hanya bisa dilindungi jika kita punya dasar hukum yang jelas dan tidak multitafsir,” tutup Yanto Ijie.