Oleh: Paula Kocu
Saya teringat satu diskusi penting yang pernah saya ikuti bersama Mama Elisabet Korain, seorang tokoh perempuan dari Papua. Dalam forum internal komunitas perempuan itu, Mama Elisabet menjelaskan bahwa maskawin adalah salah satu tahapan sakral dalam proses perkawinan.
Dalam budaya Maybrat—baik di wilayah Aifat maupun Mare—maskawin adalah kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Sebuah bentuk penghormatan dan apresiasi atas perempuan yang akan menjadi istri, sekaligus jembatan membangun hubungan sosial yang harmonis antara dua keluarga besar.
Namun hari ini, makna itu telah bergeser. Maskawin tidak lagi dilihat sebagai simbol penghargaan, melainkan sebagai transaksi ekonomi. Ini bukan sekadar pergeseran nilai, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap esensi budaya kita sendiri.
Di era ini, maskawin kerap dijadikan standar harga diri perempuan. Semakin tinggi nilai maskawin, semakin tinggi dianggap “kelas” seorang perempuan. Perempuan diperlakukan layaknya barang dagangan. Dan setelah “dibayar lunas”, ia dianggap milik sah suaminya, bahkan dalam arti yang sangat problematik.
Akibatnya, banyak perempuan yang mengalami eksploitasi—bukan hanya oleh suami, tapi juga oleh lingkungan sosial, bahkan oleh keluarga kandungnya sendiri. Dalam sistem ini, perempuan kehilangan ruang untuk bicara, kehilangan kendali atas tubuh dan hidupnya sendiri.
Kekerasan yang Dinormalisasi Lewat Dalih “Maskawin Sudah Lunas”
- Perselingkuhan: Ketika seorang suami berselingkuh, masyarakat cenderung menyalahkan istri. Tapi bila perempuan yang berselingkuh, keluarga laki-laki akan menuntut agar maskawin dikembalikan. Kalimat seperti “Kami sudah bayar dia lunas!” menjadi senjata untuk mempermalukan perempuan dan menuntut kontrol penuh atas dirinya. Ini adalah standar ganda yang brutal dan tidak adil.
- Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Banyak perempuan korban KDRT diminta untuk bersabar, untuk bertahan, bahkan untuk diam. “Pukul saja, kami sudah bayar lunas.” Kalimat ini bukan hanya melanggengkan kekerasan, tetapi membungkam korban dan melegalkan pelaku.
- Dukungan Keluarga yang Gagal: Ketika perempuan korban kekerasan mencoba mencari perlindungan di rumah keluarganya, mereka justru diusir dan disuruh kembali kepada suaminya. “Kamu orang sudah bayar lunas, pulang sudah ke ko pu suami.” Di sinilah tragedi itu sempurna: rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang, justru ikut menindas.
Perempuan Bukan Barang Milik
Tradisi tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menindas. Jika maskawin yang dulunya adalah bentuk penghormatan kini menjadi alat penindasan, maka tradisi itu perlu dikritisi. Budaya yang tidak berpihak pada martabat manusia, khususnya perempuan, bukan budaya yang layak dipertahankan.
Harapan Ada di Diri Perempuan Sendiri
Banyak perempuan Papua, khususnya di Maybrat, terjebak dalam relasi yang toksik dan tidak memiliki cukup kuasa untuk keluar. Seringkali, satu-satunya harapan adalah kekuatan diri sendiri: pendidikan, karier, dan kemandirian finansial. Namun lebih dari itu, keberanian untuk melawan narasi patriarki yang membungkus diri dalam “tradisi” adalah senjata paling ampuh.
Kesimpulan
Maskawin bisa saja sakral, bisa saja bernilai, tapi saat ia menjadi alat untuk melegalkan kekerasan, diskriminasi, dan kontrol atas tubuh serta pilihan perempuan, maka ia telah berubah menjadi simbol penindasan. Dan kita tidak boleh diam.
Mari berani berpikir, berani bertanya, berani menolak, dan berani merubah.
Penulis adaalah Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, asal Maybrat.