Masyarakat mulai mempertanyakan keberpihakan pemerintah dalam menangani masalah sosial ini. Apakah pembiaran ini disebabkan oleh ketakutan, kelalaian, atau justru ada oknum yang bermain di belakang meja?
Sorong, Detikpapua Net – Kota Sorong kini kembali menjadi sorotan publik, bukan karena prestasi atau kemajuan pembangunan, melainkan karena masih maraknya praktik Tok-tok gelap (Togel) yang kian menggila tanpa penindakan berarti dari pihak berwenang.
Perjudian jenis Togel yang seharusnya menjadi prioritas pemberantasan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, justru seakan mendapat ruang hidup yang subur di berbagai sudut kota. Di balik kios kecil, warung kopi, hingga rumah-rumah warga, aktivitas Togel berlangsung dengan leluasa, bahkan dilakukan secara terang-terangan.
Yang lebih memprihatinkan, banyak pelakunya adalah masyarakat kecil—buruh, mama-mama pasar, dan bahkan anak muda—yang tergoda oleh janji keuntungan instan, tetapi akhirnya justru terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ketergantungan.

Pertanyaan besarnya: ke mana aparat penegak hukum? Di mana sikap tegas pemerintah kota?
Masyarakat mulai mempertanyakan keberpihakan pemerintah dalam menangani masalah sosial ini. Apakah pembiaran ini disebabkan oleh ketakutan, kelalaian, atau justru ada oknum yang bermain di belakang meja?

Salah satu tokoh gereja di Sorong yang enggan disebutkan namanya mengatakan:
“Togel itu bukan hanya soal uang haram, tapi soal kehancuran karakter masyarakat. Pemerintah dan polisi jangan pura-pura buta. Jika mereka diam, itu sama saja dengan membiarkan generasi kita dijajah oleh mental spekulatif.”
Ironisnya, penindakan hukum terhadap pelaku perjudian di Kota Sorong lebih bersifat simbolik—sesekali ada razia, beberapa ditangkap, tapi tak pernah menyentuh jaringan besar dan bandar utamanya. Hukum seolah hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Padahal, Undang-Undang jelas menyatakan bahwa perjudian merupakan tindak pidana. Pasal 303 KUHP mengatur ancaman hukuman bagi pelaku perjudian bisa mencapai 10 tahun penjara, apalagi jika dilakukan secara terorganisir.

Jika ketidakpedulian ini terus berlangsung, maka bisa dipastikan dampaknya bukan hanya pada degradasi moral masyarakat, tetapi juga merusak tatanan sosial dan melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan pemerintahan.
Masyarakat Kota Sorong tidak butuh janji. Mereka butuh bukti, Bukti bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Bahwa pemerintah berpihak kepada rakyat, bukan pada kepentingan gelap. Bahwa aparat tidak bermain mata dengan kejahatan yang nyata di depan mata.
Jika pemerintah dan aparat terus diam, maka siapa yang akan menyelamatkan kota ini dari perjudian dan kehancuran moral?