OKSIBIL, DetikpapuaNet— Di wilayah perbatasan PNG–Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, sebuah gelombang perubahan lahir dari tangan-tangan sederhana masyarakat di Distrik Aboi, Okbemtau, Batom, Mopinof, dan Murkim. Di tengah keterbatasan infrastruktur dan akses, masyarakat lima distrik ini memilih jalan yang tak banyak ditempuh: kembali ke tanah, mengolah lahan, dan merintis ketahanan pangan dari akar rumput.

Di antara mereka, nama Didimus Tapyor, pemuda asal Distrik Batom, menjadi salah satu sosok yang menyalakan kembali semangat bertani di daerah perbatasan tersebut. Jejaknya kini membentang di antara hamparan padi ladang, kebun kopi, vanila, jeruk, dan berbagai komoditas lain yang mulai tumbuh subur di lahan-lahan yang dulunya dibiarkan tidur.
Lima distrik yang terletak di dataran rendah ini memiliki keunikan topografi yang berbeda dari sebagian besar wilayah Pegunungan Papua yang dikenal curam dan berbatu. Di saat tujuh kabupaten lain kesulitan mengembangkan komoditas pangan skala besar, Aboi, Batom, Okbemtau, Murkim, dan Mopinof justru memiliki peluang luas: tanah lapang yang subur, letak strategis di perbatasan Papua Nugini, dan potensi pertanian yang selama bertahun-tahun terabaikan.

Saat masyarakat mulai membuka lahan bersama, tekad itu menyatu menjadi gerakan. Tanpa menunggu proyek besar, tanpa menunggu bantuan, mereka memulai dengan apa yang ada: cangkul, parang, tenaga, dan harapan.
Perjalanan Didimus tidak selalu mulus. Ia pernah mengejar mimpi tinggi dengan menempuh pendidikan di Global Flying School di Tangerang–Banten, bercita-cita menjadi pilot. Namun, keterbatasan biaya memaksanya menghentikan pendidikan itu dan kembali pulang. Ia lalu mengabdi di Ikarios Sentani selama lima tahun sebelum kesehatan memaksanya berhenti.

Namun dari titik terendah itu, muncul tekad baru—tekad untuk membangun kampungnya sendiri.
Didimus memilih menjadi petani. Ia mulai mengajak masyarakat membuka lahan, menanam padi ladang, membangun area sawah kecil, serta menanam komoditas bernilai tinggi seperti vanila, kakao, kopi, dan jeruk. Dari kerja kolektif itu, lahir beberapa hektare lahan produktif yang kini menjadi bukti nyata bahwa perbatasan pun dapat menjadi pusat pertanian yang maju.
Ia bukan hanya mengolah tanah, tetapi juga mengolah cara pandang masyarakat—bahwa kampung mereka bukanlah daerah tertinggal, melainkan daerah berpotensi.

Usaha masyarakat ini kini mulai terlihat hasilnya. Tanaman tumbuh, lahan berkembang, dan semangat gotong royong menguat. Namun, mereka sadar bahwa tanpa dukungan nyata, gerakan ini sulit mencapai skala yang lebih besar.
Gerakan ini sangat membutuhkan dukungan dan perhatian serius dari pemerintah—baik melalui survei mendalam, penyediaan infrastruktur pendukung, akses terhadap teknologi pertanian, maupun pendampingan teknis jangka panjang. Masyarakat berharap pemerintah daerah dan legislatif turun langsung melihat kondisi lapangan, menyaksikan sendiri potensi besar yang sudah mulai tumbuh.
Harapan itu sederhana: agar perjuangan yang telah dimulai ini tidak berhenti di tengah jalan.
Jejak Didimus Tapyor kini menyatu dalam gerakan besar masyarakat perbatasan untuk membangun sentra pertanian yang mandiri. Gerakan ini membuktikan bahwa perubahan tidak selalu datang dari pusat atau kota besar; kadang ia lahir dari kampung kecil yang penuh tekad dan kesadaran kolektif.

Di tanah yang selama ini dipandang jauh, harapan kini tumbuh dari akar-akar jeruk, daun-daun padi, dan biji-biji kopi. Lima distrik ini, dengan segala potensinya, perlahan menegaskan diri sebagai calon lumbung pangan baru Pegunungan Papua.
Dan di antara tangan-tangan yang bekerja, ada jejak seorang pemuda “Didimus Tapyor” yang memilih pulang, kembali mengakar, dan menumbuhkan masa depan bagi tanahnya.












