Example floating
HomeOpiniPemerintahanPendidikanSosial & Budaya

Gereja Tumbuh Megah, Tapi Weltinus Pahabol Tumbuh di Jalan

772
×

Gereja Tumbuh Megah, Tapi Weltinus Pahabol Tumbuh di Jalan

Sebarkan artikel ini

Kabut turun pelan di Lembah Baliem. Dingin pagi menggigit hingga ke tulang. Di sudut Jalan Irian, di depan pintu toko yang belum dibuka, seorang anak duduk memeluk lututnya. Tubuhnya kurus. Rambutnya kusut. Kakinya kotor. Di tangan kecilnya tergenggam plastik putih berisi lem Aibon. Ia menghirupnya perlahan, dalam-dalam.

Weltinus Pahabol bersama rekannya. (07/11/2025).Foto/Yohanes Kossay

Seakan ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya, dan lem itu adalah satu-satunya cara untuk tidak merasakan sakitnya kehilangan itu.

Namanya Weltinus Pahabol.
Usianya baru 12 tahun.

“Kalau saya isap begini… hati jadi tidak sakit,” katanya lirih, hampir seperti ia sedang bicara hanya kepada dirinya sendiri.

Tidak banyak orang ingin tahu bagaimana Weltinus bisa sampai hidup di jalan. Mereka hanya melihat hasil akhirnya: seorang anak yang mabuk lem, berjalan tanpa arah, tertawa kosong, masa depan yang kabur.

Namun sebelum menjadi anak jalanan, Weltinus adalah seorang anak biasa. Ia pernah punya rumah. Ia pernah punya tempat yang disebut keluarga. Tapi rumah itu penuh suara keras: bentakan, piring pecah, air mata ibu yang tidak pernah kering. Tangan ayah yang seharusnya melindungi justru menjadi ancaman.

Dan pada suatu hari, Weltinus pergi.
Ia memilih jalanan.
Karena rumah tidak lagi menjadi tempat pulang.

Weltinus bukan sendiri. Di trotoar, di depan pertokoan Himalaya, anak-anak lain duduk melingkar. Plastik lem berpindah dari tangan ke tangan. Mereka tertawa, tetapi tawa itu hampa—tawa yang bukan berasal dari kebahagiaan, tetapi dari rasa sakit yang terlalu besar untuk ditanggung dalam diam.

Seseorang bertanya kepada seorang anak di antara mereka, yang mungkin baru berusia sepuluh tahun:

“Kenapa kamu hirup lem?”

Anak itu menunduk, suaranya kecil sekali:
“Kalau tidak isap… saya ingat rumah. Saya menangis. Kalau isap… hati jadi kosong. Kosong itu lebih bagus daripada sakit.”

Kosong lebih baik daripada terluka.
Begitulah cara mereka bertahan.
Begitulah cara kota ini membiarkan mereka bertahan.

Di tengah kota, suara palu dan semen menggema. Gereja baru sedang berdiri—tinggi, cerah, megah. Dana pembangunan mengalir besar. Pejabat daerah berpidato tentang pembangunan iman. Para pemimpin gereja tersenyum bangga.

Namun beberapa meter dari pagar gereja itu, Weltinus duduk di emperan, memeluk tubuhnya sendiri dari dingin malam.

Di dalam gereja, orang berbicara tentang kasih.
Tapi di luar, anak-anak ini tidak pernah merasakannya.

Apa gunanya gedung megah,
jika hati manusia dibiarkan runtuh?

Tugu Salib di kota Wamena, (07/11/2025). Foto/Yohanes Kossay.

Apa artinya salib yang menjulang,
jika tidak ada tangan yang terulur untuk memeluk seorang anak bernama Weltinus Pahabol?

Pembangunan fisik berjalan cepat.
Tapi pembangunan manusia berjalan seakan tidak pernah dimulai.

Sore di Wamena selalu datang pelan, seperti seseorang yang ragu untuk menutup hari. Langit menjadi jingga kusam. Orang-orang pulang membawa belanjaan. Anak-anak lain pulang menggandeng tangan ibunya.

Weltinus hanya memandang.

Matanya mengikuti langkah-langkah itu—langkah menuju rumah, menuju meja makan, menuju suara lembut yang berkata, “Nak, makan dulu.”

Tapi tidak ada langkah yang menunggu dirinya.

Di kejauhan, paduan suara gereja berlatih lagu pujian. Suaranya indah. Tapi indah itu terasa jauh bagi Weltinus. Terlalu jauh untuk disentuh. Terlalu jauh untuk dimiliki.

Ia mendekap lututnya.
Ia menahan napas.
Ia menahan tangis—yang terlalu sering ia paksa hilang.

Sore hari adalah waktu rindu paling berat,
bagi anak yang tidak tahu lagi siapa yang merindukannya.

Kadang seorang relawan datang membawa roti.
Kadang seorang mahasiswa duduk bercerita.
Kadang seorang mama pasar mengelus kepalanya sebentar.

Dan di saat-saat itu, mata Weltinus berubah.
Ada cahaya kecil—lemah, tapi masih menyala.

Karena sebenarnya, anak ini masih ingin hidup.
Masih ingin dicintai.
Masih ingin pulang.
Ia hanya tidak tahu ke mana arah pulang itu sekarang.

Pembangunan sejati bukan tentang meninggikan bangunan dan tugu.
Pembangunan sejati dimulai ketika seorang anak tidak lagi merasa lebih aman memeluk plastik lem daripada memeluk seseorang yang mencintainya.

Jika kita gagal menyelamatkan Weltinus Pahabol, maka kita bukan hanya gagal membangun sumber daya manusia.
Kita telah gagal menjadi manusia itu sendiri.

Penulis: Yohanes Kossay (Anak Asli Huwula)

height="600"/>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *