“Ini catatan kritis buat pemerintah pusat jangan sampai hal-hal seperti ini akan menciptakan masalah baru yang akan menimbulkan gejolak besar-besaran di atas tanah Papua, karena ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah pusat” Willem Asem, SE (Aggota DPRP Papua Barat Daya)
Sorong, Detikpapua.Net – Anggota DPRP Papua Barat Daya Willem Asem, SE melayangkan kritikan keras kepada pemerintah pusat atas pemotongan dana otonomi khusus (Otsus) dan kebijakan mandatory spending (belanja wajib) yang membingkai penggunaan dana Otsus di tanah Papua. Willem menegaskan, kebijakan tersebut bisa dilihat sebagai bagian dari penghianatan negara kepada orang Papua atas darah dan air mata yang telah melahirkan UU Otsus bagi Papua.
Kepada awak media, Politisi Partai Perindo ini menyebut pihaknya telah mencermati secara saksama dinamika implementasi UU Otsus di seluruh tanah Papua akhir-akhir ini, terkhusus pasca revisi atau perubahan UU nomor 21 tahun 2001 menjadi UU nomor 2 tahun 2021, yang mana dalam perjalanannya sudah bergeser dari amanat UU Otsus yang sesungguhnya, yang memberikan kewenangan seutuhnya kepada orang Papua melalui pemerintah daerah, provinsi maupun kabupaten kota di tanah Papua untuk melaksanakan Otsus sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan status daerahnya sebagai daerah otonomi khusus.

Ia kembali mengingatkan bawasannya Undang-undang Otsus lahir sebagai jawaban atas darah dan air mata serta perjuangan seluruh orang Papua, yang menuntut keadilan dan kesejahteraan. Tetapi hari ini ditengah kebijakan pemotongan anggaran serta mandatory spending, menurut Willem, ini adalah bukti ketidaktulusan dan ketidakseriusan pemerintah pusat dalam menyelesaikan persoalan Papua. Pemerintah pusat tidak lagi percaya dengan pemerintah daerah dan bisa dilihat sebagai bentuk penghianatan negara terhadap orang Papua.
“Saya sebagai anak Papua, anak adat sekaligus politisi perlu mengingatkan pemerintah pusat agar berhati-hati dalam menentukan kebijakan. Ini catatan kritis buat pemerintah pusat jangan sampai hal-hal seperti ini akan menciptakan masalah baru yang akan menimbulkan gejolak besar-besaran di atas tanah Papua, karena ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah pusat. Faktanya jelas, Otsus tidak lagi diberikan seutuhnya kepada pemerintah daerah bersama masyarakat Papua mengatur sesuai dengan kewenangan, desentralisasi dan sentralisasi maupun kewenangan mengatur sesuai dengan prakarsanya sendiri,” ujar Willem sebagaimana rilis yang diterima media ini, Kamis (06/11/2025).
Willem mengungkapkan kebijakan efisiensi anggaran dan mandatory spending yang telah menyasar Dana Otsus bagi Papua, membuat pemerintah daerah kebingungan dan sulit dalam menentukan kebijakan-kebijakan strategis terkait pemenuhan hak dasar orang Papua. Pemerintah daerah sangat terganggu dari sisi fleksibilitas anggaran, efektivitas belanja dan beban keuangan daerah karena semua program sudah ditentukan oleh pusat, daerah tidak bisa mengurangi atau menambah sedikitpun sesuai dengan kebutuhan riil di masyarakat.
Kondisi ini, lanjut dia, tentu sangat beresiko pada perubahan paradigma masyarakat, khususnya orang asli Papua (OAP), yang menyebut bahwa Otus sudah tidak berlaku lagi di tanah Papua, atau bahkan Otsus telah gagal. Yang lebih dikhawatirkan adalah publik bisa berpandangan bahwa Otsus bukanlah solusi riil dari pemerintah pusat, melainkan alat mainan yang dipakai pemerintah untuk membelenggu bahkan membuat nasib orang Papua kian tidak menentu.
“Pemerintah pusat mengambil alih penggunaan dana Otsus melalui mandatory spending ini membuat pemerintah daerah di seluruh Tanah Papua tidak akan berbuat banyak, mereka tidak bisa merealisasikan amanat UU Otsus secara utuh karena dana sudah diambil alih, programnya diambil alih, disusun dan ditentukan oleh pemerintah pusat. Saya sendiri berpandangan bahwa pemerintah pusat sudah menganggap Papua bukan lagi status daerah Otsus, karena yang namanya daerah Otsus itu undang-undangnya maupun dananya tidak boleh diintervesi atau dipegang kendalinya oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya sebatas melakukan kontrol,” ucap Willem.
Untuk itu, Willem menyarankan pemerintah pusat agar dana dan kewenangan Otsus diberikan sepenuhnya kepada pemerintah daerah provinsi di seluruh tanah Papua maupun kabupaten kota. Biarkan daerah mengatur sesuai dengan kebutuhan, kearifan lokal, budaya dan keinginan masyarakat di setiap kabupaten kota dan di wilayah adat masing-masing.
Perlu juga dibuatkan payung hukum seperti peraturan daerah khusus (Perdasus) tentang penggunaan dana otonomi khusus yang dikelola oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota di seluruh tanah Papua dan disana ada semacam pengawas atau pendamping khusus untuk menangani dan mendampingi penggunaan dana Otsus sehingga betul-betul memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya bagi OAP, baik dibidang perekonomian, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sejahteran, keagaman dan semua aspek kehidupan.
“Nah ini yang harus diperbaiki. Bukan diambil alih langsung ke pemerintah pusat lalu ditentukan programnya semua dari pusat. Itu salah, karena bisa dimengerti sebagai pengambilalihan fungsi pemerintah daerah dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah di seluruh Tanah Papua dalam pengelolaan dana Otsus. Ini yang sangat dikhawatirkan bahwa orang Papua berpikir Otsus itu hanya sebatas slogan,” tekan Willem.
Ia kembali melanjutkan, jika dana dan kewenangan Otsus diberikan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, maka bisa digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua, baik ekonomi di sektor riil, mama-mama jual pinang, peternak babi, ayam, dan usaha-usaha lain. Kemudian dana tersebut juga digunakan untuk pendidikan gratis, kesehatan gratis, atau menyiapkan Jamkesmas khusus untuk orang asli Papua atau Askes. Kemudian kartu khusus beasiswa dari dana otonomi khusus dan program lainnya yang memberikan proteksi atau keperpihakan kepada orang asli Papua.
“Ini sekaligus catatan kritis saya buat MRP, DPR Otsus selektif melihat apa yang saya bicara hari ini. Karena ini akan memberikan dampak yang buruk bagi orang asli Papua, khusus realisasi Undang-Undang Otonomi khusus di 6 provinsi dan 42 kabupaten kota di seluruh tanah Papua. Baiknya MRP dan DPR Jalur Otsus di 6 Provinsi dan 42 Kabupaten Kota baca berita ini dan diskusikan, simak baik-baik apa yang terjadi dalam realisasi Undang-Undang Otus jilid 2 hari ini,” tutup Willem Asem.












