“Kami tidak ingin pemekaran justru menjadi pintu masuk bagi eksploitasi dan marginalisasi. Jangan sampai masyarakat adat hanya jadi penonton di rumah sendiri” Brian A. Ambrau
Manokwari, Detikpapua.Net – Brian A. Ambrau, mahasiswa Universitas Papua (UNIPA) asal Kabupaten Raja Ampat, menyampaikan sikap kritis namun konstruktif terhadap rencana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Raja Ampat Selatan.
Pernyataan ini disampaikan sebagai bentuk kepedulian generasi muda Papua terhadap arah pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang berdampak langsung pada masyarakat adat.
Pemekaran wilayah Raja Ampat Selatan merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, serta berbagai peraturan pelaksanaannya.
Rencana ini mencakup pemisahan enam distrik dari wilayah induk, yaitu Distrik Misool, Misool Barat, Misool Selatan, Misool Timur, Kofiau, dan Kepulauan Sembilan, dengan total 30 kampung yang tersebar di gugusan kepulauan tersebut.
Brian menyatakan bahwa pemekaran ini memiliki potensi besar untuk mempercepat pembangunan dan memperpendek rentang kendali pelayanan publik. Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan pemekaran sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam memastikan bahwa prosesnya inklusif, adil, dan berpihak pada masyarakat adat.
“Saya mendukung pemekaran DOB Raja Ampat Selatan jika dan hanya jika pelaksanaannya tidak mengorbankan nilai-nilai budaya lokal, tidak membuka ruang konflik sosial baru, serta memberikan ruang seluas-luasnya bagi anak asli Papua untuk berperan dalam birokrasi dan pembangunan,” ujar Brian A. Ambrau.
Ia menyoroti kekhawatiran akan masuknya tenaga kerja dari luar Papua secara besar-besaran atas nama pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia (SDM), yang bisa berakibat pada terpinggirkannya anak-anak asli Papua di tanahnya sendiri.
“Kami tidak ingin pemekaran justru menjadi pintu masuk bagi eksploitasi dan marginalisasi. Jangan sampai masyarakat adat hanya jadi penonton di rumah sendiri,” tambahnya.
Dalam pernyataannya, Brian juga menyampaikan beberapa harapan utama terkait pemekaran DOB Raja Ampat Selatan:
Pelestarian budaya lokal dan perlindungan hak-hak masyarakat adat harus menjadi pijakan utama dalam setiap kebijakan pasca-pemekaran.
Rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) di wilayah DOB wajib memprioritaskan putra-putri asli Papua dari wilayah tersebut.
Transparansi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan DOB, termasuk pelibatan aktif tokoh adat, tokoh agama, pemuda, dan perempuan.
Pengendalian arus migrasi yang bijak dan berbasis pada kapasitas wilayah serta kearifan lokal, guna menghindari tekanan sosial dan lingkungan.
Sebagai penutup, Brian menegaskan bahwa mahasiswa sebagai bagian dari agen perubahan memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal proses ini secara kritis dan konstruktif.
“Kami akan terus memantau dan bersuara jika ada indikasi bahwa pemekaran ini disalahgunakan. Harapan kami, DOB benar-benar menjadi jalan menuju keadilan sosial dan pembangunan yang merata bagi masyarakat Raja Ampat,” tutup Brian.












