Sorong, Detikpapua.Net – Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (FOPERA) Provinsi Papua Barat Daya menanggapi rencana pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan gubernur se-Tanah Papua yang akan dilaksanakan pada 16 Desember 2025 ini.
Ketua Umum FOPERA Papua Barat Daya Yanto Ijie, ST menegaskan, Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua diberikan berdasarkan latar belakang sejarah masa lalu yang gelap. Terjadinya ketidakadilan dan diskriminasi yang membuat orang asli Papua (OAP) pernah menyatakan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berusaha membentuk negara sendiri.
Ia melanjutkan, dalam UU Otsus, Pemerintah Pusat memiliki 5 kewenangan mutlak, yaitu hubungan politik luar negeri, peradilan, agama, moneter dan fiskal, serta pertahanan dan keamanan. Selain kelima kewenangan tersebut, seluruh kewenangan lainnya diberikan kepada Pemerintah Daerah di Papua untuk mengaturnya.
Ia kemudian menekankan, pada pertemuan Gubernur se-Papua bersama Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang direncanakan pada tanggal 16 Desember 2025, diharapkan para Gubernur se-Papua mendorong penyelarasan Pasal 28 Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tentang hak politik OAP ke dalam Undang-Undang Pemilu.
Hal ini sangat relevan mengingat DPR RI akan melakukan revisi Undang-Undang Pemilu pada tahun 2026.
“FOPERA merupakan organisasi yang selama ini konsisten menyuarakan hak politik OAP, dan pernah melakukan gugatan tinjauan yudisial terhadap UU Otsus Papua khususnya Pasal 28 tentang hak politik OAP. Dalam putusannya, Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa penyelarasan hak politik OAP ke dalam Undang-Undang Pemilu merupakan kewenangan lembaga pembuat undang-undang yaitu DPR RI. Melalui momentum revisi Undang-Undang Pemilu ini, kami mendorong agar hak politik OAP diselaraskan dan dimasukkan dalam salah satu pasal khusus dalam revisi tersebut,” ujar Yanto sebagaimana rilis yang diterima media ini, Senin (15/12/2025).
Ia lantas mengutip isi Pasal 28 UU Otsus Papua (setelah perubahan melalui UU Nomor 2 Tahun 2021) adalah sebagai berikut:
- Ayat (1) dan (2) dihapuskan (sebelumnya mengatur pembentukan partai politik di Papua)
- Ayat (3): Rekrutmen politik oleh partai politik di provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua
- Ayat (4): Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partai masing-masing
Menurutnyaa, kondisi saat ini di tanah Papua menunjukkan bahwa hak politik OAP belum sepenuhnya dan konsisten dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh tumpang tindih peraturan perundang-undangan, antara Undang-undang Otsus, Undang-undang Pemilu, dan Undang-undang Partai Politik yang membatasi ruang lingkup pelaksanaan hak politik tersebut.
Oleh karena itu, penyelarasan Pasal 28 Otsus ke dalam Undang-undang Pemilu sangat penting untuk menjamin hak politik OAP terwujud.
“Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga kami menegaskan harapan agar Dana Otonomi Khusus se-Papua tidak mengalami efisiensi atau pemotongan anggaran. Pemotongan Dana Otsus akan berdampak negatif pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan serta merusak Roadmap Otonomi Khusus sampai tahun 2041 yang bertujuan menjadikan Papua cerdas, sehat, produktif, dan damai. Karenanya, Otsus harus dilaksanakan secara konsisten, konsekuen, dan dengan komitmen penuh dari seluruh pemangku kepentingan di pusat dan daerah,” sebut Yanto.
Pihaknya juga menyarankan agar Dana Otonomi Khusus di Papua dinaikkan. Sebagaimana Gubernur Aceh mendapatkan tambahan dana sebesar Rp 8 triliun dari Presiden, hal yang sama seharusnya berlaku untuk 6 provinsi di Papua. Misalnya, jika Aceh mendapatkan Rp 8 triliun, maka Papua dapat diberikan tambahan dana sebesar Rp 16 triliun untuk dibagi ke ke-6 provinsi tersebut.
“Kami juga meminta Bapak Presiden dapat mendorong percepatan pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan di tanah Papua. Dengan demikian, OAP akan merasakan kehadiran dan perhatian negara yang nyata. Selain itu, kami juga mendesak presiden untuk menumpas mafia kehutanan, dan mafia perampok ekplorasi sumber daya alam saat ini, yang sedang bergelirya di Tanah Papua untuk merusak alam, merusak hutan dan meresahkan masyarakat serta merugikan Negara dari sektor pendapatan negara,” pungkasnya.















