Example floating
BeritaHomeLingkunganOpiniPendidikanSosial & Budaya

Perjuangan yang Tak Pernah Usai: Saat Mimpi Anak Terkubur Karena Kemiskinan

145
×

Perjuangan yang Tak Pernah Usai: Saat Mimpi Anak Terkubur Karena Kemiskinan

Sebarkan artikel ini


Oleh: Yohanes Kossay

Di tengah riuhnya mimpi anak-anak Papua untuk mengenyam pendidikan tinggi, ada kisah yang menyayat hati di sebuah keluarga sederhana. Lukas Tikporop dan istrinya, tanpa mengenal lelah, membesarkan lima anak mereka: Pangki, Yakobus, Katarina, Robeka, dan Kornelis Tikporop. Mereka bukan hanya membesarkan dengan kasih, tapi juga dengan pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya. Namun, di balik itu, mereka harus menelan kenyataan pahit: dua anak mereka, Yakobus dan Katarina, terpaksa menghentikan langkah menuju bangku kuliah.

Yakobus, lulusan 2024, dan Katarina, lulusan 2025, adalah anak-anak yang cerdas dan penuh semangat. Sayangnya, bukan karena malas atau tak berprestasi mereka berhenti, tetapi karena tak ada cukup uang untuk membayar biaya kuliah. Sementara itu, Pangki, anak pertama, tengah berjuang menyelesaikan skripsinya dengan target kelulusan tahun ini. Demi fokus membantu biaya Pangki, orang tua mereka rela menunda mimpi dua anak lainnya.

Lukas, sang ayah, adalah sosok sederhana yang aktif di Gereja Katolik Stasi Santo Yosef Freinademetz Malasilen. Dia memberi waktunya untuk melayani umat, namun ironisnya, gereja tempat ia mengabdi tak mampu hadir membantu pendidikan anak-anaknya. Ini menjadi tamparan bagi kita semua, bahwa pelayanan rohani belum tentu menjamin kesejahteraan lahiriah bagi mereka yang setia.

Lukas Tikporop bersama istri kekasihnya di halaman gereja katolik Stasi Santo Yosef Freinademetz Malasilen, Foto/Y.Kossay.

Sementara itu, sang mama menjadi pahlawan sunyi. Dari hasil jualan serei, kunyit, lengkuas, sayur nangka, dan berbagai hasil kebun sederhana, ia membiayai kehidupan anak-anak. Setiap rupiah yang ia hasilkan adalah keringat yang bercampur doa. Tapi harga pendidikan tinggi terlalu mahal untuk bisa dijangkau dari hasil kerja keras di kebun.

Inilah potret nyata yang sering kali luput dari perhatian kita. Kita selalu bicara soal “pembangunan SDM Papua”, tapi apakah kita benar-benar melihat kenyataan bahwa ada anak-anak yang putus mimpi hanya karena tak mampu membayar uang kuliah? Pembangunan seharusnya tak hanya berbicara tentang infrastruktur, tetapi juga tentang akses yang adil untuk pendidikan.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapapun, tetapi untuk mengetuk hati kita semua. Di sekitar kita, ada banyak Yakobus dan Katarina lain yang terpaksa memendam cita-cita. Mereka tidak butuh belas kasihan, mereka butuh kesempatan. Pendidikan adalah hak, bukan hadiah. Dan ketika hak itu tak terpenuhi, kita semua patut merasa bersalah.

Semoga kisah ini menjadi panggilan bagi siapa saja yang mampu membantu. Bukan hanya untuk keluarga Lukas Tikporop, tetapi untuk setiap keluarga yang kini sedang berjuang melawan kemiskinan demi masa depan anak-anak mereka. Sebab mimpi tidak seharusnya dikubur hanya karena dompet yang kosong.

Penulis: Anak Kompleks (AKOM) TPU Km.10 masuk.

height="600"/>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *