Example floating
IMG-20250620-163536
Berita

Setelah Septinus Lobat Jadi Wali Kota Sorong: Akan Kemana Nasib Politik Orang Pegunungan?

6
×

Setelah Septinus Lobat Jadi Wali Kota Sorong: Akan Kemana Nasib Politik Orang Pegunungan?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yohanes Kossay

Kota Sorong, Pemilihan Wali Kota Sorong 2024 telah berlalu, dan sejarah mencatat bahwa salah satu kekuatan politik yang paling militan dalam memenangkan Septinus Lobat adalah masyarakat Pegunungan Tengah Papua, khususnya warga asal Wamena yang menetap di Kota Sorong.

Merah-Putih-Sederhana-Bold-Ucapan-Selamat-dirgahayu-HUT-RI-Indonesia-Instag-20250621-094908-0000

Mereka bukan sekadar pemilih biasa. Komunitas Wamena tampil sebagai garda depan: menggalang suara, menyiapkan logistik kampanye, hingga menjaga stabilitas selama masa pemilihan. Mereka percaya bahwa kemenangan Septinus Lobat adalah pintu masuk menuju pengakuan politik yang selama ini terabaikan. Namun setelah pengucapan sumpah jabatan dan masuknya sang pemimpin ke dalam ruang kekuasaan, pertanyaan besar muncul: Akan ke mana nasib masyarakat Pegunungan selanjutnya?

Dari Panggung Kampanye ke Ruang Tunggu Kekuasaan

Ironi terbesar dalam politik adalah ketika mereka yang paling berjasa justru menjadi penonton setelah pesta selesai. Sampai hari ini, belum tampak adanya kebijakan inklusif atau penempatan orang Pegunungan di jabatan strategis pemerintahan. Padahal kontribusi suara dari komunitas ini cukup signifikan untuk menentukan arah kemenangan.

Apakah kekuasaan hanya memperhitungkan loyalitas saat kampanye, namun lupa pada janji representasi setelahnya?

Janji Keberagaman atau Sekadar Retorika?

Dalam berbagai panggung kampanye, Septinus Lobat menjanjikan pemerintahan yang inklusif dan mewakili seluruh suku dan kelompok etnis di Kota Sorong. Tetapi realitas politik pasca pelantikan masih menunjukkan pola eksklusif lama—di mana orang Pegunungan tetap berada di pinggiran kekuasaan. Wajah-wajah Pegunungan belum terlihat dalam ruang strategis: baik dalam tim ahli, staf khusus, kepala dinas, maupun dalam forum-forum pengambilan keputusan publik.

Kondisi ini menyisakan luka politis yang dalam bagi masyarakat Pegunungan yang selama ini hidup dalam stigma “pendatang”, tetapi justru paling setia dalam pertarungan politik.

Politik Keseimbangan yang Absen

Pemerintah Kota Sorong hari ini dihadapkan pada realitas sosial-politik yang majemuk. Mengelola kota ini tanpa prinsip keseimbangan etnis adalah keputusan yang bisa berujung pada disintegrasi sosial. Masyarakat Pegunungan bukan hanya penonton sejarah. Mereka adalah bagian dari denyut nadi kota, dan sudah waktunya diberi ruang yang setara dalam sistem pemerintahan.

Jika janji perubahan hanya berhenti di bibir, maka bukan tidak mungkin kepercayaan yang telah diberikan akan berubah menjadi kekecewaan kolektif. Politik bukan hanya tentang siapa yang duduk, tapi siapa yang diikutsertakan dalam proses.

Kritik sebagai Alarm Demokrasi

Tulisan ini bukan untuk menjatuhkan pemerintahan, tetapi menjadi pengingat bahwa kepercayaan publik adalah aset politik yang tidak boleh disia-siakan. Orang Pegunungan tidak menuntut lebih—mereka hanya ingin dihargai sebagai bagian dari warga kota yang sah, yang punya hak untuk terlibat, bukan hanya dipakai sebagai mesin suara saat pemilu.

Pemerintahan Septinus Lobat harus segera menjawab harapan ini, atau bersiap menghadapi gelombang koreksi dari basis pendukungnya sendiri.

“Penulis adalah wartawan/wakil Pimred Detikpapua.net”

height="600"/>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IMG-20250620-151809