Manokwari, Detikpapua.Net – Rivelino Rumbewas, mahasiswa asal Raja Ampat yang kini menempuh studi di Fakultas Sastra Inggris Universitas Papua (UNIPA), menyuarakan keprihatinannya terkait konflik yang mengemuka di tanah kelahirannya. Ketegangan antarwarga dipicu oleh perbedaan pandangan soal tambang dan arah pariwisata di Raja Ampat.
“Kami lihat sekarang masyarakat mulai terpecah. Ada yang pro tambang, ada yang menolak. Tapi ini bukan soal siapa benar, siapa salah. Masalah utamanya adalah negara belum kasih cukup pilihan ekonomi buat masyarakat,” kata Rivelino.

Ia menegaskan, warga yang mendukung tambang tidak bisa serta-merta disalahkan.
“Kalau mereka bertahan karena dapat penghasilan dari tambang, itu wajar. Mereka juga cuma cari makan. Jangan dijadikan musuh,” lanjutnya.
Di sisi lain, Rivelino juga menyoroti ketimpangan yang terjadi dalam sektor pariwisata Raja Ampat. Menurutnya, warga lokal yang sudah menjaga hutan dan laut sejak dulu justru belum merasakan hasil yang layak dari sektor pariwisata.
“Yang untung besar malah agen-agen dari luar, dari Sorong misalnya. Masyarakat kampung cuma jadi penonton. One day trip kasih uang cepat, tapi uangnya tidak tinggal di kampung. Konservasi pun jadi terabaikan,” jelasnya.
“Yang jaga spot wisata, yang antar tamu, yang pelihara alam, itu orang kampung. Tapi yang terima uang, malah orang luar,” tambahnya.
Karena itu, Rivelino mendesak agar Pemerintah Daerah Raja Ampat melakukan pembenahan serius terhadap sistem tata kelola pariwisata. Ia mendorong adanya kolaborasi antar semua pihak, mulai dari Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan, DPMK, UPTD BLUD, LSM, asosiasi homestay, hingga lembaga adat untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kolaborasi ini, menurutnya, harus mendorong tata kelola yang lebih transparan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, memperkuat konservasi, melindungi budaya adat, serta memajukan promosi dan inovasi secara terpadu.
Lebih lanjut, Rivelino menegaskan bahwa pariwisata harus berbasis masyarakat adat, bukan hanya dikuasai investor luar. Masyarakat lokal perlu mendapat pelatihan, akses modal, dan dukungan usaha kecil seperti kuliner, kerajinan, dan olahan hasil laut. Produk-produk lokal juga harus dipromosikan dan dijual lebih luas, baik di pasar nasional maupun internasional.
Senada dengan itu, Maikel Saleo, mahasiswa STIH Manokwari sekaligus Ketua Asrama Mahasiswa Raja Ampat, ikut menegaskan bahwa pendekatan terhadap tambang tidak boleh hanya melarang tanpa solusi.
Kalau izin tambang dicabut, masyarakat butuh pekerjaan tambahan penghasilan. Rakyat butuh solusi. Harus dipikirkan pengganti penghasilannya,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa isu ini tak hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan.
“Jangan hanya fokus ke isu lingkungan. Ini juga tentang keadilan sosial. Masyarakat butuh makan, dapur harus ada asap dulu baru bicara yang lain,” ujar Maikel.
Di akhir pernyataannya, para mahasiswa menyerukan harapan dan solidaritas untuk sesama warga Raja Ampat: “Kami tidak mau masyarakat terus terpecah. Kami tidak mau konflik antar saudara. Kami mau keadilan, kolaborasi, dan masa depan Raja Ampat yang lebih adil dan berkelanjutan. Sudah saatnya kita baku bantu”