Oleh: Yohanes Kossay
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya hadir untuk menolong anak-anak bangsa, terutama di Papua Barat Daya yang angka stuntingnya masih di atas 30% (data Badan Gizi Nasional 2024). Namun, di balik wajah program sosial ini, kini muncul ancaman penutupan dapur-dapur MBG akibat aturan baru yang begitu memberatkan rakyat kecil.
Aturan pendirian dapur MBG kini mewajibkan syarat-syarat yang hanya bisa dipenuhi oleh pemodal besar: badan hukum resmi, bangunan dapur luas minimal 20×20 meter, fasilitas penyimpanan modern, armada distribusi, hingga laporan keuangan berbasis digital. Jika dilihat sekilas, syarat ini tampak profesional. Tetapi bagi mama-mama Papua yang mengelola dapur sederhana dengan modal terbatas, aturan itu ibarat palu pemukul yang siap menyingkirkan mereka.
Sebaliknya, perusahaan besar dengan akses modal, jaringan politik, dan kedekatan dengan elit kekuasaan justru dengan mudah melenggang. Karena itu, tak berlebihan jika publik menduga bahwa aturan ini sengaja dirancang sebagai karpet merah bagi kapitalis.
Lebih tajam lagi, ada sinyal kuat bahwa elit kapitalis lokal di Papua Barat Daya ikut bermain. Mereka memanfaatkan regulasi untuk menguasai pasar penyediaan makanan bergizi yang sejatinya harus dikelola berbasis komunitas. Pola ini menunjukkan praktik politik rente, di mana kebijakan publik digunakan bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memperkaya kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Jika dapur MBG rakyat ditutup, maka bukan hanya anak-anak sekolah yang dirugikan karena kehilangan akses makanan bergizi, tetapi juga pekerja lokal terutama mama-mama Papua kehilangan sumber penghasilan. Sementara keuntungan besar justru mengalir ke kantong segelintir oligarki yang pandai menunggangi kebijakan.
Pertanyaannya kini sederhana tapi mendasar: apakah MBG di Papua Barat Daya masih menjadi program gizi rakyat, atau sudah berubah menjadi ladang bisnis oligarki?
Gizi bukanlah barang dagangan. Pemerintah harus berani berpihak pada rakyat kecil, bukan tunduk pada tekanan kapitalis. Jika tidak, program MBG hanya akan menjadi wajah baru dari ketidakadilan struktural di tanah Papua.
Penulis adalah Pemuda yang berdomisili di Papua Barat Daya