Sorong, Detikpapua.Net – Masyarakat adat Kaiso, yang ada di Distrik Kais Kabupaten Sorong Selatan, harus menelan pil pahit akibat kebengisan dan keserakahan perusahaan serta praktek-praktek hukum, yang disinyalir tidak mengedepankan asas-asas keadilan dan pembelaan terhadap kaum lemah dan termarginal.
Disaat hutan mereka sebagai ibu pemberi kehidupan, telah habis dibabat untuk kepentingan eksploitasi logging oleh pihak perusahaan, disaat yang sama juga, hak-hak mereka sebagai masyarakat adat pemilik ulayat terus diabaikan. Nestapa kian berlanjut, mereka pun harus terperangkap dalam jeratan hukum yang bahkan merekapun tidak mengerti kenapa.
Adalah PT MPG, yang mungkin sebagian besar dari kita sampai saat ini tidak tahu apa kepanjangannya. Perusahaan kayu yang berhasil menggiring masyarakat adat Kaiso pada ruang simalakama, menuntut hak adat atau meratap dibalik jeruji besi. Situasi sulit yang secara jelas memberi pesan bahwa masyarakat adat Kaiso memang tidak berada dalam posisi menguntungkan dalam segala bentuk upaya mediasi.
Sabtu, 26 April 2025 tepatnya di Swisbel Hotel, Kota Sorong, menjadi satu dari sekian momen dimana masyarakat adat Kaiso dan pihak perusahaan duduk bersama dalam satu meja. Juga menjadi satu dari sekian momen dimana masyarakat adat harus kembali dengan tangan kosong, karena pihak perusahaan sama sekali belum merealiasikan apa yang menjadi kewajiban mereka.
Pertemuan mediasi Swisbel Hotel sebenarnya “terpaksa” dilakukan karena pihak perusahaan kembali ke mode aslinya, yakni mencoba melepas tanggungjawab dan mengelak dari kesepakatan sebelumnya. Ya, sebelum pertemuan tersebut, sudah ada beberapa pertemuan sebelumnya, bahkan sempat dibuat dalam sebuah surat pernyataan yang disaksikan langsung pihak kepolisian dalam hal ini Polres Sorong Selatan.
Pada ahad Kamis (20/03/2025) lalu, tepatnya di Mako Polres Sorong Selatan, di Teminabuan, telah dibuat sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh Edi Yusuf dan Sawaludin sebagai perwakilan pihak perusahaan, kemudian mewakili masyarakat pemilik ulayat Yesaya Saimar, Simon Maurits Soren, SH.,MH (PH masyarakat adat) dan Daud Enzo M sebagai Ketua LMA Kaiso.
Penandatanganan pernyataan kala itu dipimpin langsung oleh Kapolres Sorong Selatan AKBP Gleen Rooi Molle, S.IK didampingi kasat reskrim dan kanit tipikor. Dimana dalam pernyataan pihak perusahaan manyatakan bersedia melakukan pembayaran hak-hak masyarakat berupa sewa lokpoan, pesangon, gaji dan BPJS.
Turut dicantumkan dalam surat pernyataan bermeterai 10000 itu bahwa pembayaran sejumlah item tersebut dilakukan pada tanggal 15 April 2025 oleh pihak PT MPG kepada masyarakat adat Kaiso. Namun, ketika tiba waktunya, tepatnya pada tanggal 15 April 2025 sebagaimana tanggal yang tercantum dalam surat pernyataan, pihak perusahaan tidak melakukan pembayaran.
Justru sebaliknya, pihak perusahaan menseriusi laporan mereka di Polres Sorong Selatan dengan tudingan masyarakat adat mencuri Kapal Tongkang milik perusahaan. Padahal kapal yang sebenarnya sudah jadi bangkai itu hanya diamankan oleh masyarakat adat sebagai jaminan karena pihak perusahaan belum membayar hak mereka. Namun apa mau dikata, proses hukum tetap berjalan dan masyarakat terus dihantui dinginnya hotel prideo (penjara).
Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana perusahaan sekelas PT MPG terasa begitu superpower dan bisa begitu leluasa melakukan tindakan semena-mena terhadap masyarakat adat. Mereka melakukan ekspolitasi, mengambil kayu-kayu dari hutan adat milik masyarakat tanpa membayar sesuai kewajaran. Lalu mengintimidasi masyarakat melalui laporan polisi yang diduga “dipaksakan”. Hanya Tuhan yang tahu.
Ungkapan kekecewaan meluap dari seorang Penasehat Hukum Masyarakat Adat Kaiso, Simon Maurits Soren, SH.,MH pada momen pertemuan mediasi di Swisbel Hotel, Sabtu (26/04/2025). Bagaimana tidak, dirinya selaku kuasa hukum bersama masyarakat adat pemilik ulayat yang lain, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara dalam pertemuan tersebut.
Simon juga mengaku kesal, lantaran pihak perusahaan tidak komitmen dengan perjanjian yang telah disepakati bersama sebelumnya dengan masyarakat adat. Belum lagi ada upaya intimidasi atas nama hukum kepada masyarakat adat, menurutnya hal itu sudah diluar batas kewajaran sebagai seorang manusia yang memiliki empati dan moralitas.
Untuk diketahui, sebelumnya jagat maya Papua Barat Daya dihebohkan dengan munculnya berita terkait hilangnya sebuah kapal tongkang milik PT MPG di wilayah Distrik Kais Kabupaten Sorong Selatan. Kapal tersebut diketahui telah dipindahkan ke suatu tempat menggunakan kapal TNI AL dalam hal ini Kapal Umsini milik Lantamal IX Sorong pada Minggu (16/03/2025).
Belakangan muncul pengakuan pihak perwakilan PT MPG bernama Sawaludin yang menyebut bahwa kapal tongkang tersebut sejatinya merupakan barang bukti kasus dugaan pencurian yang sudah dipolice line, karena sementara diproses hukum di Polres Sorong Selatan. Bahkan Sawaludin mengaku bingung dengan pemindahan kapal karena pihaknya sebagai pelapor tidak diberitahu.
Menanggapi pemberitaan tersebut, kuasa hukum masyarakat adat pemilik ulayat di lokasi PT MPG, Simon Maurits Soren, SH.,MH pun angkat suara. Ia menegaskan bahwa kapal tersebut tidak hilang atau dicuri, melainkan diamankan oleh masyarakat sebagai kompensasi adat, akibat perusahaan enggan membayar hak masyarakat adat. Selain biaya sewa lokpoan, pesangon, gaji dan BPJS kala itu Simon juga menyinggung soal tuntutan uang Rp 10 milyar yang hingga kini belum dibayar pihak perusahaan.