Sorong, Detikpapua.Net – Jagat maya Papua Barat Daya dihebohkan dengan munculnya berita terkait hilangnya sebuah kapal tongkang milik PT MPG di wilayah Distrik Kais Kabupaten Sorong Selatan. Kapal tersebut diketahui telah dipindahkan ke suatu tempat menggunakan kapal TNI AL dalam hal ini Kapal Umsini milik Lantamal IX Sorong pada Minggu (16/03/2025).

Belakangan muncul pengakuan pihak perwakilan PT MPG bernama Sawaludin yang menyebut bahwa kapal tongkang tersebut sejatinya merupakan barang bukti kasus dugaan pencurian yang sudah dipolice line, karena sementara diproses hukum di Polres Sorong Selatan. Bahkan Sawaludin mengaku bingung dengan pemindahan kapal karena pihaknya sebagai pelapor tidak diberitahu.
Menanggapi pemberitaan tersebut, kuasa hukum masyarakat adat pemilik ulayat di lokasi PT MPG, Simon Maurits Soren, SH.,MH secara tegas mengatakan bahwa apa yang dilakukan Sawaludin bersama pihak PT MPG merupakan sebuah kebohongan publik. Bahkan ia menuding PT MPG sedang melakukan upaya playing victim (seolah menjadi korban), untuk membebaskan diri dari tuntutan masyarakat adat pemilik ulayat terkait ganti rugi lahan dan kayu sebesar Rp 10 milyar yang hingga kini belum terselesaikan.
Simon menyebut, persoalan kapal sebenarnya hal kesekian yang bisa dibicarakan, karena masih ada akar persoalan yang perlu diurai terlebih dahulu. Apalagi, kata Simon Kapal Tongkang milik PT MPG tersebut pada kenyataannya tidak hilang ataupun dicuri. Kapal tersebut selama ini masih ada di lokasi dan baru dipindahkan, sebagai bagian dari respon masyarakat terhadap sikap perusahaan yang dinilai acuh tak acuh dengan tuntutan mengenai hak-hak masyarakat adat, khususnya pemilik ulayat.

“Kapal itu selama ini ada di tempatnya, tidak dicuri, tetapi dijaga dan diamankan oleh masyarakat adat sebagai kompensansi adat atas kelalaian atau ketidakpedulian pihak perusahaan membayar ganti rugi kepada masyarakat. Jadi kalau dibilang itu dicuri dan hilang saya pikir itu hanya upaya playing victim dari PT MPG, untuk mereka bisa lari dari tanggungjawab membayar hak-hak daripada masyarakat adat pemilik ulayat itu sendiri,” ujar Simon saat menghubungi media ini via telephone, Senin (17/03/2025).
Advokat yang getol memperjuangkan hak-hak masyarakat adat ini membenarkan bahwa Kapal Tongkang tersebut sudah dipindahkan ke suatu tempat menggunakan kapal milik TNI AL. Namun, ia menggaris bawahi bahwa TNI AL dalam hal ini Lantamal XIV Sorong hanya diminta tolong oleh masyarakat adat dan tidak punya kepentingan apapun dalam kasus tersebut. Lantamal XIV Sorong hanya membantu mengamankan kepentingan orang asli Papua (OAP) khususnya pemilik ulayat di Distrik Kais, lokasi dimana PT MPG beroperasi menghabiskan sumber daya hutan milik masyarakat adat.
Ia pun menjelaskan, persoalan antara masyarakat adat dengan PT MPG sudah berlangsung selama kurang lebih 6 tahun belakangan. Berbagai cara sudah dilakukan, langkah-langkah persuasif, mediasi dan lainnya juga sudah ditempuh oleh masyarakat adat, semata agar pihak perusahaan membuka hati dan menunjukan itikad baik menyelesaikan persoalan yang menjadi tuntutan masyarakat.

Namun, sepanjang proses itu berjalan tidak ada tanda-tanda pihak perusahana menunjukan itikad baik. Masyarakat adat pun mencoba dengan cara lain, menahan kapal milik perusahaan sebagai kompensasi adat untuk dijadikan jaminan agar hak-hak mereka diperhatikan pihak perusahaan. Apalagi, selain tuntutan ganti rugi masih ada persoalan lain yang belum diselesaikan perusahaan termasuk pesangon karyawan khusus pemilik ulayat dan sewa tambat kapal selama 6 tahun berjalan.
“Perlu kami sampaikan, kami masyarakat adat adalah korban konspirasi yang dilalaikan selama 6 tahun oleh PT MPG. Pertama mereka tidak selesaikan hak tambat kapal selama 6 tahun lebih, kemudian terkait pesangon karyawan khususnya yang berkaitan dengan para pemilik ulayat. Termasuk tuntutan ganti rugi sebesar Rp. 10 milyar, sama sekali belum diselesaikan. Jadi pak Sawaludin jangan anda bersilat lida, anda kami percayakan untuk menjadi perantara mediasi tetapi hari ini tidak ada hasil dan malah anda melaporkan masyarakat adat dengan tuduhan pencurian,” tekan Simon.
Simon juga mengaku pihaknya selaku kuasa hukum bersama masyarakat adat telah mendatangi Polres Sorong Selatan dan melakukan konfrontir langsung kepada Kasat Reskrim Polres Sorsel untuk mempertanyakan legal standing dan unsur laporan, serta kapasitas dari pelapor Sawaludin terkait pencurian kapal dimaksud. Karena, kata Simon, kapal tersebut masih ada dan jika pemilik ingin mengambil kembali maka hanya perlu datang dan berbicara dengan masyarakat adat, berbicara dengan pemilik hak ulayat yang sesungguhnya.
“Mestinya pihak terkait itu datang bicara dan bicara itu bukan di tokoh di caffe atau di hotel, bicara itu turun ke lokasi ketemu masyarakat adat dan pemilik ulayat yang sesungguhnya atau bicara di Kantor Polisi dalam hal ini Polres Sorong Selatan. Yang dilporkan ini kan kapal tongkang yang saat ini ada di tangan masyarakat, ditahan sebagai kompensasi adat karena pihak perusahaan tidak membayar hak mereka, terus salahnya dimana,” ujar Simon dengan nada tanya.
“Saya minta Pak Sawaludin dan PT MPG tidak melakukan playing victim. Mereka mengadu ke kepolisian seolah-olah mereka yang jadi korban, padahal merekalah sesungguhnya yang telah menzolimi masyarakat adat. Mereka yang datang ambil kayu milik masyarakat sampai kasih tinggal barang disitu, kemudian masyarakat jaga lalu mereka kembali tuduh masyarakat adat pencuri. Jadi perlu saya tegaskan kalau mau bicara kapal, mari bicarakan dulu hak-hak masyarakat adat yang anda abaikan,” tambah Simon.
Diakhir penyampaiannya, Simon juga menduga ada tokoh-tokoh intelektual yang terlibat dalam persoalan antara masyarakat adat di Kais dengan pihak MPG. Ia mengarahkan telunjuknya ke kantor DPR RI yang disinyalir ada oknum yang sengaja ikut “bermain api” dengan persoalan masyarakat adat di Kais Sorong Selatan.
Bahkan, saat ini ada upaya untuk membenturkan atau menciptakan gesekan di kalangan sesama masyarakat adat sendiri. Perusahaan sengaja membayar kepada orang lain dan memanfaatkan mereka untuk berbenturan langsung dengan pemilik ulayat yang sesungguhnya. Hal ini, lanjut dia tentu pekerjaan yang sia-sia karena tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada.
“Iya menarik, kami dapat informasi ada oknum intelektual di DPR RI yang ikut bermain, kami tidak tahu kepentingannya apa. Tapi satu hal yang kami perlu sampaikan bahwa kami masih ada dan kami akan terus berjuang sampai hak-hak kami diberikan. Masyarakat adat juga tidak bodoh, mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah,” tutup Simon.