Sorong, Detikpapua.Net – Tokoh perempuan Raja Ampat sekaligus Calon Anggota DPRP Papua Barat Daya, jalur pengangkatan tahun 2025, Ludia Mentasan, mengaku siap melayangkan gugatan terhadap Panitia Seleksi (Pansel) Anggota DPRP PBD tahun 2025 ke PTUN. Gugatan tersebut sebagai langkah hukum atas ketidakpuasannya karena merasa hak politiknya telah dikebiri.
Kepada Detikpapua.net, Ludia menjelaskan bahwa dirinya telah mengikuti setiap tahapan seleksi dengan baik. Namun saat datang pada penetapan calon terpilih, Pihak Pansel sama sekali tidak menyampaikan alasan dirinya tidak bisa diakomodir sebagai peserta terpilih. Hal ini, lanjut dia tentu mengundang pertanyaan, karena kriteria-kriteria yang diamanatkan PP 016 maupun petunjuk teknis, yang telah diikuti oleh para kandidat tidak terterah dalam keputusan yang disampaikan.
“Makanya saya bertanya, sebenarnya saya tidak lolos dari segi apanya, penilaiannya dimana, itu yang tidak dapat ditunjukan oleh Pansel. Padahal PP 106 jelas mengamanatkan semua kriteria yang ada dan itu sudah saya penuhi, lalu kenapa saya tidak diakomodir,” ujar Ludia, melalui press release yang diterima media ini, Sabtu (01/01/2025).
Ludia juga menyinggung soal keterwakilan perempuan dan wilayah adat dalam keputusan Pansel. Menurutnya Pansel mengabaikan keterwakilan perempuan, khusus dari wilayah adat Raja Ampat. Padahal, dari calon yang mengikuti seleksi ada keterwakilan perempuan termasuk dirinya dari Raja Ampat.
Selain itu, terkait keterwakilan wilayah adat, Ludia membeberkan bahwa calon yang ditetapkan Pansel sebagai calon terpilih justru bukan berasal dari wilayah hukum adat Raja Ampat, bahkan Doberai pada umumnya. Dari dua nama perwakilan Raja Ampat yang lolos, satu merupakan warga asal Maluku dan satunya lagi warga asal wilayah adat Saireri.
Hal ini, tentu patut dipertanyakan, mengingat UU Otsus khususnya PP 106 sebagai aturan turunan telah mengamanatkan bahwa pembagian jatah kursi Otsus atau jalur pengangkatan harus berdasarkan wilayah adat masing-masing. Tidak bisa orang dari wilayah adat Saireri atau lainnya diakomodir dalam pencalonan di Papua Barat Daya yang notabene adalah wilayah adat Doberai.
“Dari poin-poin tersebut diatas saya merasa bahwa hak-hak politik kami sebagai warga asli Doberai, khususnya suku Maya di Raja Ampat tetapi juga sebagai perwakilan perempuan, telah dikebiri oleh Pansel. Untuk itu kami meminta pertanggungjawaban dari Pansel terkait hal itu,” sebut Ludia.
Ia juga menyentil terkait surat pernyataan yang ditandatangani peserta seleksi bersama Pansel, dimana salah satu poin didalamnya berisi tentang pernyataan tidak ada hubungan pertalian darah antara anggota Pansel dengan peserta seleksi. Namun, kenyataanya justru yang saat ini dinyatakan lolos, ada salah satu peserta yang diketahui memiliki hubungan darah dengan salah satu anggota Pansel.
Olehnya itu, Ludia mengaku pihaknya secara tegas menolak keputusan Pansel yang telah menetapkan calon terpilih, karena tidak sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada. Pihaknya, lanjut dia akan menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum melalui gugatan di PTUN.
“Saya sementara persiapan untuk melayangkan gugatan ke PTUN agar Pansel bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Saya tidak pada semangat untuk mencari-cari kesalahan, tetapi saya ingin ada keadilan, dan ini penting agar kedepan proses seleksi seperti ini bisa dilakukan secara profesional dan akuntabel, seusai peraturan hukum yang ada,” pungkasnya.